Search This Blog

Friday, November 23, 2018

makalah ushul fiqh tentang syar u man qablana


Makalah Ushul fiqh

SYAR’U MAN QABLANA
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
ADJIE SEPTIYAHADYANTO
M. TRISNO LUBIS
ZAINAL ABIDIN

FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN MUAMALAH
2014 - 2015

KATA PENGANTAR 



            Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang, yang telah memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Syar’u Man Qablana”, sebagai tugas Mata pelajaran Ushul Fiqh.
Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, kerabat, dan pengikut-pengikut beliau, semogasyafaatnyakitadapat di  akhiratnanti.
            Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi penulisan maupun bahasa yang digunakan. Untuk itu penulis mohon maaf dan kami mengharapkan saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun. Semoga sebuah makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, dan Pemakalah pada khususnya.

Medan,   Mei 2015

Pemakalah





Daftar isi

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A.    Pengertian Syar’u Man Qablana....................................................................................2
B.     Pendapat ulama tentang Syar’u Man Qablana...............................................................2
C.     Macam – macam Syariat terdahulu...............................................................................6
D.    Hukum dan Kehujjahan Syariat Terdahulu...................................................................7

BAB III PENUTUP.................................................................................................................11
A.    Kesimpulan...................................................................................................................11
B.     Saran ............................................................................................................................11

Daftar pustaka..........................................................................................................................12

BAB I
PENDAHULUAN

            Sebelum datangnya agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, terlebih dahulu datang agama-agama lain yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya, seperti nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa dan nabi Isa beserta syari’at atau hukum-hukum yang mengatur kehidupan pada masa itu.
Jika Al-qur’an atau sunnah yang Shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti. Atau dengan kata lain pula tidak ada perbedaan penadapat bahwasanya hukum tersebut merupakan syariat untuk kita dan suatau undang-udang yang wajib diikuti, berdasarkan penetapan syara’.

           
Untuk mengetahui lebih lanjutnya tentang syari’at atau yang biasa disebut Syar’u Man Qablana masih berlaku atau tidak pada masa sekarang, maka kami akan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan syar’u man qablana, pendapat para ulama terhadap syar’u man qablana dan bagaimana ketetapan syar’u man qablana dalam penetapan hukum pada zaman sekarang.








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian sayar’u man qablana
            syar’u man qablana ialah syariat yang dibawa oleh rasul terdahulu, sebelum di utusnya Nabi Muhamamad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat Nabi  Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain sebagainya[1].
Jadi, Syar’u man qablana adalah syariat atau ajaran - ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as, dan lain sebagainya[2].
            Syariat sebelum islam atau syariat samawi terdahulu dapat dinyatakan sebagai autentik adalah apa yang di lakukan dalam Al-qur’an dan diberlakukan bukan untuk umat islam[3].
B.     Pendapat para ulama tentang syar’u man qablana
            Para ulama Usul fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasullah tidak berlaku lagi bagi umat islam, karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu.
Demikian pula para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum Islam syariat yang dicantumkan dalam alqur’an adalah berlaku bagi umat islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum islam tetapi karena di tetapkan oleh Al-qur’an[4].
Misalnya puasa ramadhan yang diwajibkan kepada umat islam adalah syari’at sebelum islam.
Sepertidalam al-qur’an  surat Al-baqarahayat 183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
            Para Ulama Ushul fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu yang tercantum dalam al-qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum itu masih berlaku bagi umat islam dan tidak pula ada penjelasan yang membatalkanya.
Misalnya persoalan hukum Qishas (hukuman setimpal) dalam syari’at nabi Musa yang diceritakan dalam al-qur’an surat Al - maidah ayat 45 : 

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾ 


Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, Maka  melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
            Dari sekian banyak hukum Qishas dalam ayat tersebut yang ada ketegasan berlakunya bagi umat islam hanyalah qishas karena  pembunuhan seperti ayat 178 Surah Al-Baqarah sebagai berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, endaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”.

Para ahli ilmu Usuhul fiqih membaginya kedalam 3 kelompok :
1.                  Syari’at tedahulu yang terdapat kedalam al-qur’an atau penjelasan yang disyari’atkan untuk umat sebelum nabi Muhammd dijelaskan pula dalam al-qur’ana atau hadist nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat nabi Muhammad.
Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 146 :

وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ


Artinya : “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.”

2.         Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an maupun hadist nabi disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya.
Firman Allah dalam surat al-baqarah  ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa   sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”

3.       Hukum-hukum disebutkan dalam al-qur’an atau hadist nabi  dijelaskan berlaku untuk umat sebelum nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.




Firman Allah dalamsurat al-Maidah ayat 45 :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ
تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾ 

Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Makamerekaituadalah orang-orang yang zalim.[5]

3.      Macam-Macam Syari’at Terdahulu

Al-Quran dan Hadis juga mengisahkan hukum-hukum Syar’i yang diyariatkan Allah kepada umat terdahulu sebelum kita. Ada hukum-hukum syar’i yang disampaikan kepada umat Nabi Muhammad SAW yang telah disampaikan juga kepada umat dahulu kala. Syariat-syariat terdahulu ada kalanya tidak berbeda dari apa yang disyariatkan kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajibkitaikuti[6].


Mengenai syariat terdahulu dalam hubungannya dengan syariat umat Muhammad SAW, maka syariat sebelum kita dibagi dua:[7]



1)      Syariat yang telah dihapuskan oleh syari’at kita

            Jika Al-Quran atupun hadis telah menerangkan tentang syariat umat terdahulu dan dijelaskan pula bahwa syariat itu telah dihapus, maka tidak boleh dijalankan.

            Ajaran agama yang telah di hapuskan oleh syariat kita (mansukh) contoh:
Pada syariat nabi Musa AS, pakaian yang terkena tidak suci lagi, kecuali dipotong apa yang kena najis itu.


2)      Syariat yang tidak dihapuskan, bagian inidibagimenjadidua
  • Syariat yang ditetapkan oleh syariat kita, bagian ini tanpa diperselisihkan dan harus kita amalkan karena bagian initermasuksyariatkita.Contoh: perintahmenjalankanpuasa
  • Syariat yang tidak ditetapkan oleh syariat kita, bagian ini dibagi dua:
Syariat yang diceritakan kepada kita, baik melaui al-Qur’an atau Hadis Nabi tetapi tidak tegas diwajibkan atas kita sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kita seperti yang disebut dalam al-Qur’an “kami wajibkan atas mereka (bani Israil) dalam kitab taurat, bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka sebagai qisas. (QS. al-Maidah 45)

Syariat yang tidak disebut-sebut sama sekali. Bagian ini tanpa diperselisihkan lagi untuk tidak boleh menjalankannya. Bagian ini tidak kita ketahui kecuali dengan jalan berturut-turut melalui pengamatan sejarah dan tidak dapat menerimanya dari ahli kitab sendiri, sebab mereka telah mengubah isi kitab mereka. (QS. an Nisa’ : 41 dan al-Maidah: 13).

Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah tidak berlaku lagi bagi umat islam. Pandangan ini berargumentasi bahwa kedatangan syariat islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula, para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat terdahulu yang dicantumkan dalam Al-Quran adalah berlaku bagi umat Islam bila mana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun, keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh Al-Quran.[8]

C.    Hukum dan Kehujjahan Syariat Terdahulu 

Sebelum membahas kehujjahan syariat-syariat terdahulu mengenai keabsahnnya untuk diambil sebagai sumber hukum Islam. Perlu dikemukakan tiga hal sebagai berikut[9]:
  1. Hukum-hukum dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tampa melalui sumber-sumber hukum Islam. Maka, penukilan syariat tidak dipandang sah jika tidak disandarkan pada sumber-sumber tersebut. Sebab yang bisa dijadikan hujjah dalam hukum bagi kaum muslimin adalah sumber-sumber hukum Islam. Hal ini merupakan kesepakatan para ahli fiqh. 
  2. Sesuatu yang telah dinasakh berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil. Begitu pula apabila terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan hukum berlaku khusus untuk kaum tertentu. Ketentuan itu tidak bisa bertlaku meluas kedalam syariat Islam seperti diharamkannya bagian-bagian tertentu dari daging sapi dan kambing bagi bani Israil. Hal ini juga berdasarkan kesepakatan para ahli fiqh. 
  3. Suatu hukum yang diakui dalam Islam sebagaiman halnya diakui dalam Agama-Agama Samawi terdahulu, status hukumnya adalah didasarkan dengan nash Islami, bukan dengan hikayat umat terdahulu. Contoh seperti firman Allh SWT: 
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿ البقرة : ۱۸۳﴾ 

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 183). 

Perselisihan para ulama terhadap syariat terdahulu mengenai syariat mereka yang diceritakan kepada kita melalui al-Quran atau hadis akan tetapi tidak diterangkan bahwa syariat itu masih tetap berlaku atau sudah dihapuskan[10].Contohnya seperti firman Allah SWT: 

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾ 

Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah : 45). 

Pada bagian ini, para ulama ahli fiqh berselisih pendapat. Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah dan mayoritas Syafi’iyyah serta golongan hambali bahwa hal itu tergolong syara’ dan termasuk sumber pokok yang berdiri sendiri. Sebab menurut hukum asal, syariat-syariat samawi merupakan satu kesatuan. Disamping itu terdapat pula nash-nash yang menerangkan agar kita kita mengikuti Nabi-Nabi terdahulu[11].Firman Allah SWT: 

أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ﴿ سورة الأنعام : ٩٠ ﴾ 

Artinya: Mereka Itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk mereka. (QS. Al-An’am : 90) 

Oleh karena itu, Ulama Mazhab Hanafi menetapkan hukum mati terhadap terhadap seorang muslim yang membunuh non-muslim.[12]
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan syafi’iyah dan salah satu pendapat Ahmad bin Hambal bahwa syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Quran tidak menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW kecuali ada ketegasan untuk itu.[13]



Firman Allah SWT: 

وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ . ﴿ سورة المائدة : ٤۸ 

Artinya: Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.(QS. Al-Maidah : 48). 

Selain dalil diatas, mereka juga berargumen dengan riwayat mengenai percakapan Rasulullah dengan Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus untuk menjadi hakim di Yaman.
Menurutmereka bahwa dalam hadis ini tidak terdapat petunjuk Rasulullah SAW untuk merujuk kepada syariat-syariat nabi terdahulu[14]

Abdul wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul Fiqh’ menjelaskan bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah pendapa yang pertama diatas. Alasannya bahwa syariat Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh karena itu, segala hukum-hukum para Nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Quran tampa ada ketegasan bahwa hukum itu telah dihapus, maka hukum itu berlaku umat Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam al-Quran yang merupakan petunjuk bagi umat Islam menunjukkan berlakunya bagi umat Muhammad SAW[15].


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan

            Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang mengandung keselasaran dengan apa yang dibawa Nabi kita Muhammad SAW dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi. Syar’u man qablana dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu : 

a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syariat kita (dimansukh) 
b. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita

            Para Ulama menggunakan beberapa dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syariat umat yang terdahulu apakah berlaku juga umtuk umat Nabi Muhammad. Maka pada dasarnya syariat yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif atau partikuker yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Artinya berdasarlkan kesepakatan ulama jika syari’at itu ditegaskan kembali oleh ketetapan Allah dan Rosulnya, maka syari’at tersebut wajib untuk diikuti. 
Demikianlah uraian yang singkat tentang pembahasan Syar’u Man Qablana, semoga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya dalam kehidupan yang semakin berkembang ini.

B. Saran

            Selanjutnya melalui makalah ini, saya mangajak kepada kaum muslimin dan kaum muslimat khususnya para mahasiswa agar meninjau kembali beberapa fatwa shahabat mengenai kasus-kasus hukum yang belum terdapat didalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah SAW. Serta dapat melihat dengan jelas beberapa perbedaan pendapat ulama tentangkedudukan sumber hukum islam yang masih diperdebatkan tersebut.



Daftar Pustaka

Effendi, Satria. Zein, Muhammmad. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005, Cet. V
Said, Yusuf. Ushul Fiqh, Bandung : Cita Pustaka Media Perintis, 2010, Cet I
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakartaa:Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet I
Hanafie, Ahmad. Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1980, Cet VII
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, Cet. I
Zahrah, M. Abu. Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011, Cet. XIV









                [1]Yusuf said, Ushul Fiqh(Jakarta : Citapustaka Media Perintis, 2010), hal 66
                [2]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), hal 162
                [3] Amir Syarifuddin, Garis-garisbesar ushul fiqh (kencana pernada media group, 2012) hal 77
                [4]Satria effendi 163
                [5]M.yusuf said. Ushul Fiqh (Bandung. Cita pusaka media perintis. Bandung) 2010 hal 66 - 69
                [6]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) Hal. 109, Cet. I

                [7]A. Hanafie, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1980) Hal. 149, Cet VII
                [8]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 163, Cet. III
                [9]M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 465-466, Cet. XIV
                [10]A. Hanafie, Ushul Fiqh (Jakarta: Widjaya, 1980) Hal. 149,
                        [11]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 165,

                        [12]M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 468, Cet. XIV

                [13]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166,

[14]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166, Cet. III

[15]Ibid hal 168



No comments:

Post a Comment

Teks Deskripsi tentang yuki simpang raya

kali ini saya membahas tugas bahasa indonesia tentang teks deskripsi suatu pusat perbelanjaan yang ada di kota medan yaitu yuki simpang raya...