Search This Blog

Tuesday, November 13, 2018

makalah filsafat tentang pola pemikiran hukum islam


Makalah


POLA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Kelompok VIII
LINDIKA
24141021


FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN MUAMALAH
2018-2019

Kata pengantar


            Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga kita masih diberi kesempatan untuk beribadah dan berkarya.Sholawat berangkaikan salam, tak lupa pula kita haturkan atas Nabi besar junjungan kita Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarga beliau.
            Dengan dikajinya masalah ini, penulis berharap agar makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang pola pemikiran hukum islam
            Jika terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun pemahaman dalam makalah ini, sebelumnya penulis mohon maaf. Namun, ambillah kebenaran jika terdapat dalam makalah dan hanya kepada-Nyalah Pemakalah memohon ampunan.


Medan,      november 2018

pemakalah





DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN            
A.      Rumusan masalah......................................................................................... 1
B.      Tujuan pembahasan...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.      Defenisi ......................................................................................................... 2
B.      Pola pemikiran hukum islam......................................................................... 3
BAB III PENUTUP
A.      KESIMPULAN.................................................................................................. 9         
B.      SARAN .................................................................................................
Daftar pustaka............................................................................................................  10



BAB I
PENDAHULUAN

A.                PENDAHULUAN
            Pengetahuan dibangun atas dasar pengenalan indrawi dan adanya kekuatan rasio. Akan tetapi kebenaran indrawi dan rasio belum menyentuh kebendaran indrawi dan rasio belum menyentuh kebenaran esensiensinya (mahiyyah) yang tetap, karena sifat-sifat indrawi yang berubah-ubah dan kondisinya pun berbeda-beda sedangkan fungsi esensi suatu ialah memegang ciri-ciri yang substansinya yang pokok terjadi perubahan keadaan
Pencarian dilakukan oleh para filsuf, tidak terkecuali filosof muslim diantaranya
1.                  Al-kindi
Al-kindi  membagi filsafat kepada tiga bagian yaitu
thibiyyat (ilmu fisika), al-ilm ar-riyadhi(matematika, ilm ar-rububiyah(ilmu ketuhanan
2.                  Al-farobi
Ia mengatakan bahwa filsafat ialah semua yang wujud karena  ia wujud (al – ilm bilmaujudat bimahiyah maujudah)


B.                 RUMUSAN MASALAH
1.                  Apa yang dimaksud filsafat hukum islam?
2.                  Apa yang dimaksud pola pemikiran hukum islam?


C.                TUJUAN MASALAH
1.                  Untuk mengetahui filsafat hukum islam
2.                  Untuk mengetahui pola pemikiran hukum islam





BAB II
PEMBAHASAN
A.                DEFENISI
Secara etimologi filsafat berasal dari bahasa yunani philos yang artinya cinta dan sophia yang berarti kebijaksanaan.
Secara termologis,filsafat mempunyai arti yang bervariasi. Juhaya S.Pradja (200:2) mengatakan bahwa arti sangat formal dari filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi.
filsafat adalah pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis,artinya perbincangan mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.[1]
Tujuan filsafat adalah memberikan Weltanchauung (filsafah hidup).Weltanchauung mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu manusia yang mengikuti kebenaran, mempunyai ketenagan pikiran, kepuasan, kemantapan hati, kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohani dan keinsafan.
Setelah itu mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun kepadanya, mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangan universal, dan sebagainya. [2]
Hukum berasal dari bahasa Arab (الحكم) yang secara etimologi berarti “memustuskan, menetapkan dan menyelesaikan”. Kata hukum dan kata lain yang berakar dari kata itu terdapat dalam 88 tempat di dalam Al-Qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang mengandung arti tersebut. Selanjutnya kata hukum juga sudah menjadi kata baku dalam bahasa Indonesia[3].
Islam (al-islām, الإسلام) memiliki arti "penyerahan", atau penyerahan diri sepenuhnya. Sebagai ajaran, Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimah bagi perempuan.[4]

Filsafat Hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum Islam, baik yang menyangkut materi maupun proses penetapannya, atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum Islam sehigga sesuai dengan maksud dan tujuan penetapannya di muka bumi. Yaitu untuk kemaslahatan umat manusia seluruhnya.[5]

B.                 POLA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM

Meskipun telah dijelaskan, syariah Islam, fikih Islam, dan hukum Islam, namun pemakalah hanya membahas masalah Hukum Islam, terlepas dari perbedaan pendapat para ahli.
Untuk memudahkan pembahasan materi ini pemakalah membatasi pendapat para ahli, bahwa yang kita bahas adalah “pemikiran tentang Hukum Islam”.
Masa Nabi Muhammad saw ini juga disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fikih/ hukum Islamdiserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia. Ayat demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw, diterangkan dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum Muslimin.
Namun, sepeninggal Nabi saw, Alqur’an atau al-Sunnah terhenti sedangkan masalah terus berdatangan sesuai dengan perkembangan zaman.
Perubahan dan perkembangan zaman, terkadang lebih cepat dari hukum yang mengatur, hukum sering terlambat mengantisifasi problema yang dihadapi masyarakat, begitu juga dengan hukum Islam. Hal ini membuat para pemikir atau ulama berusaha untuk memecahkanproblem atau masalah-masalah yang timbul belakangan dengan penemuan hukum (ijtihad) sebagai perspektif hukum Islam.
Perspektif hukum Islam lazim dibangun dengan berbagai metode. Tentu di dalamnya tidak hanya mengatur hubungan bersifat horisontal, juga ada garis bersifat vertikal.
Pemikiran Islam dapat dilihat dengan dua aspek yaitu aspek Eksoteris dan aspek Isoteris, Aspek Isoteris adalah aspek yang bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh orang-orang tertentu, aspek ini seringkali diartikan sempit, sedangkan aspek eksoteris berarti bebas tanpa dibarengi dogma dan bisa dikatakan murni. Dalam dinamika Intelektual Islam, perbedaan pendangan dengan menggunakan kedua aspek tersebut, seringkali menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap pemikiran. Akibatnya banyak timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah mencatat, munculnya berbagai madzhab, aliran, firqah, golongan, ormas dan kelompok-kelompok dalam Islam, mewarnai dinamika perjalanan pemikiran Islam, baik dari masa klasik hingga modern.
1.      Pemikiran Hukum Islam Klasik
Karakter pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari beberapa konsep antara lain:Iza shahha al-hadīs fahuwa mazhabī (jika hadis itu telah shahīh maka itulah mazhabku), la masāgha lil ijtihād fi maurid al-nash (masalah yang telah ada nash tidak boleh lagi diijtihādi). Konsep populer ini menunjukkan sumber utama hukum Islam klasik adalahnash/teks, baik Alqur’an atau al-Sunnah.
Hampir semua masalah bisa terjawab dengan Alqur’an atau al-Sunnah dan patwa para sahabat Nabi saw. Namun, ketika Islam mulai menyebar ke penjuru dunia, masalah barupun bermunculan. Maka, tidak bisa lagi mengandalkan nash/teks, baik Alqur’an atau al-Sunnah secara teks bahasa.
Sedangkan bahasa yang digunakan dalam Alqur’an atau al-Sunnah adalah bahasa Arab. Jadi, metode terpenting dalam menggali hukum adalah bahasa. Implikasinya, trend kajian pemikiran hukum Islam (ushūl al-fiqh) didominasi oleh kaidah kebahasaan (qāidah lughawiyah) atau logika bahasa (seperti mantiq) yang deduktif dan sulit menerima perubahan. Sedangkan hukum dari realitas empiris (al-’adat,  syar’u man qablana, dan sains misalnya) dan nalar rasio (istihsān) menjadi langka dan sulit diterima. Jadi, hukum yang dikeluarkan tidak jauh berbeda dengan teks Alqur’an atau al-Sunnah.
                Para ilmuan mulai berpikir untuk menghadapi perubahan zaman dan permasalah baru yang dihadapi, sedangkan teks Alqur’an atau al-Sunnah dibisa dipahami apa adanya, apalagi adanya benturan adat, budaya dan tradisi. Hal ini Perlu adanya ijtihad atau pemikiran baru (tajdid) para ilmuan.
          Jejak tajdid sebenarnya sudah ada pada jaman para sahabat. Terutama apa yang telah dilakukan Umar ibn Khattab. Contoh tajdidnya antara lain; tidak membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada tentara Muslim yang turut berperang, tetapi justru kepada petani kecil setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar telah menyimpang dari Alqur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada tentara, yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan Yahudi yang memusuhi Nabi saw.
Contoh lain; tindakan Umar yang melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah. Melihat contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan Umar adalah sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat.
            Betapapun, ijtihad Umar menimbulkan kontroversi dikalangan Sahabat dan penilaian negatif pada era berikutnya, adalah langkah tajdid pada awal Islam sebagai upaya Umar melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam sejarah. Umar tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam konteks problem kekinian yang dihadapi umat Islam pada masa Umar. Dapat dikatakan Umar adalah mujaddid pemikir Islam pertama dalam sejarah Islam.
Banyaknya pemikir Islam pada masa ini yang melakukan ijtihad dan tajdid menjadikan Islam semakin mencapai puncak keemasannya dibidang ilmu pengetahuan.

2.      Pemikiran Hukum Islam masa Pertengahan
Setelah banyaknya kitab dan buku yang ditulis para ulama mazhab dan ilmuan lainya, membuat umat Islam seperti dimanja.
Apalagi semacan adanya pemaham, bahwa pintu ijtihad telah tertutup pasca iman mazhab, hal ini menimbulkan kemunduran perkembangan hukum Islam. Kemauan dan kemampuan nalar kritis tradisi ijtihad mulai memudar bahkan tenggelam.
Ahli hukum berpendapat bahwa empat aliran hukum diatas yakni: Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah dan HaNabillah sudah diganggap cukup, jadi dengan demikian pintu ijtihad telah di anggap tertutup dan selalu memilih jalan taglid (mengikuti pendapat mazhab ) tanpa meneliti sumbernya. Taglid berjalan terus dalam bentuk ini dalam waktu yang lama hingga munculnya suatu gerakan baru yang mendobrak tradisi kuno ini.
Pada masa ini, mulai terlihat adanya konflik antar umat Islam, hal ini dimamfaatkan oleh bangsa barat (yang tenggelam), setelah kebangkitan dan masa emas Islam. Puncaknyaketika jatuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M, akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakan bangunan peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan mercusuar peradaban dunia.
Sesungguhnya Eropa banyak berhutang budi pada Islam karena banyak sekali peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa, seperti dari spanyol, perang salib dan sisilia. Spanyol sendiri merupakan tempat yang paling utama bagi Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.

3.      Pemikiran Hukum Islam Modern
Sekurang-kurangnya sejak abad ke-19 M., pemikiran modern dalam Islam muncul di kalangan para pemikir Islam yang menaruh perhatian pada kebangkitan Islam setelah mengalami masa kemunduran dalam segala bidang sejak jatuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M., akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakan bangunan peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan mercusuar peradaban dunia. Begitu juga dengan pemikiran hukum Islam.
            Setelah sekian lama, umat Islam terkurung dalam koloni taklid, yang berakibat perkembangan Islam stagnan. Kemudian timbul keinginan para  pemikir Islam untuk mendobrak dan melawan taklid, dengan kembali membuka pintu ijtihad.
Menurut kaum moderenis, ijtihad adalah interprestasi rasiaonal terahadap Alqu’an untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang. Dan sejarah neo-ijtihad bisa dilacak pada masa Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M) yang menjadi pengikut mazhab Hanabilah yang juga terkenal tidak punya lelah menetang sikap menerima taklid dengan tanpa melihat dalil. Begitu juga Jamal al-din Al-afghani yang terkenal dengan penyokong reformasi dalam Islam yang menghabiskan hidupnya di Mesir selama delapan tahun dan Muhammad Abduh  yang kemudian menjabat seorang mufti besar di Mesir.

        Ada beberapa hal yang perlu disadari bahwa, sebenarnya hukum Islam itu elastis, sebagaimana qaidah ushul fiqh

Adapun faktor penyebab elastisitas hukum Islam adalah :
1.     Allah sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for Granted  segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhluk-Nya.
2.     Sebagian besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global
3.     Nash-nash yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.
4.     Di dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
5.     Adanya prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan atau membantu manusia karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta kondisi-kondisi yang yang menekan.[6]
Dari berbagai faktor yang telah dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam dapat mengakomodir segala bentuk dinamika masyarakat.
Selain faktor diatas, dalam hukum Islam mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini mengatakan, menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab, haram dan makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya. Ada hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang tidak dimiliki oleh agama-agama lain. [7]
Disamping itu muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
Sejatinya, ijtihad sudah ada sejak Nabi Muhammad saw masih hidup, hal ini tergambar pada saat beliau mengutus Muaz bin Jabal, ketika Rasul mengirimnya ke Yaman untuk mengajar. Rasul bertanya kepadanya: apa yang kamu perbuat apabila kamu dihadapkan pada suatu persoalan, sedangkan kamu tidak mendapatkan ketentuan hukumnya di dalam kitab Allah dan Sunah Rasulullah? Jawab Muaz: aku akan berijtihad dengan akal dan pikiran. Kemudian Nabi menjawab” segala puji bagim Allah yang telah member taufiq”.[8]






BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN

1. Pemikiran hukum Islam di masa Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Beliaulah dan hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.
2. Pada periode Pemikiran Hukum Islam Masa sahabat, para ulama mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para ulama awalnya berusaha mencari jawabannya dari Alqur'an. Jika di Alqur'an tidak diketemukan dalil yang jelas, maka hadits menjadi sumber kedua. Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadits maka para ulama ini melakukan ijtihad dan tajdid.
3. Perkembangan hukum Islam mencapai puncaknya setelah para ulama menulis beberapa kitab yang menjadi rujukan umat Islam, namun pasca ulama mazhab perkembangan hukum Islam mulai menurun, karena adanya pemahaman bahwa, pintu ijtihad telah tertutup.
4. Hukum Islam, kembali memnggeliat dan terus berkembang, dimulai pada abad ke 19. Bermunculan para modernis yang terus mengembangkan keilmuanya bukan hanya hukum Islam, namun ilmu-ilmu lainnya juga.

B.     SARAN




[1] Atang abdul hakim dan beni ahmad saebani2008.filsafat umum dari metologi sampai teofilosfi,
 pustaka setia, bandung.
H 14-15

[2] Lois O. Kattsoff, 1992, Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya

[3] Muslehuddin, Philosophi Of Islamic Law And The Orientalis, 1980, Lahore: Islamic Publication
[4]  Nasution, Harun, Filsafat Agama, 1987, Jakarta, Bulan Bintang.

[5] Syarifuddin, Amir, 1992, Pengertian Dan Sumber Hukum Islam, Jakarta, Departemen Agama, Bumi Aksara.

[6] Abdul halim ‘Uways, al-Fiqh al-Islami bayn ath-Tathawwur wa ats-Tsabat, diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan Judul Fiqh Statis dan Dnamis,( Cet. I; bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998), h. 211.

[7] Murtadha Muthahhari, Inna ad-Din Inda Allah al-Islam, diterjemahkan oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam dan Tantangan Zaman, (Cet. II: Bandung; Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 256.

[8] Abdul Wahab Khalaf, Khulastut Tarikh Tasyri’ al-Islami. Dalam H. Roibin, Penetapan Hukum Islam dalam lintas Sejarah, Malang, UIN-Maliki Press, 2010, hlm. 31






demikian makalah saya buat mohon maaf apabila ada yang salah

No comments:

Post a Comment

Teks Deskripsi tentang yuki simpang raya

kali ini saya membahas tugas bahasa indonesia tentang teks deskripsi suatu pusat perbelanjaan yang ada di kota medan yaitu yuki simpang raya...