Makalah
POLA PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
D
I
S
U
S
U
N
OLEH
Kelompok
VIII
LINDIKA
24141021
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN MUAMALAH
2018-2019
Kata
pengantar
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah
Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat dan karunia-Nyalah sehingga kita masih
diberi kesempatan untuk beribadah dan berkarya.Sholawat berangkaikan salam, tak
lupa pula kita haturkan atas Nabi besar junjungan kita Muhammad SAW beserta
sahabat dan keluarga beliau.
Dengan dikajinya masalah ini, penulis berharap agar
makalah ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan yang lebih luas tentang pola
pemikiran hukum islam
Jika terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun
pemahaman dalam makalah ini, sebelumnya penulis mohon maaf. Namun, ambillah
kebenaran jika terdapat dalam makalah dan hanya kepada-Nyalah Pemakalah memohon
ampunan.
Medan, november 2018
pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Rumusan masalah......................................................................................... 1
B.
Tujuan pembahasan...................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Defenisi ......................................................................................................... 2
B.
Pola pemikiran hukum islam......................................................................... 3
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN.................................................................................................. 9
B.
SARAN .................................................................................................
Daftar pustaka............................................................................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN
A.
PENDAHULUAN
Pengetahuan dibangun atas dasar
pengenalan indrawi dan adanya kekuatan rasio. Akan tetapi kebenaran indrawi dan
rasio belum menyentuh kebendaran indrawi dan rasio belum menyentuh kebenaran
esensiensinya (mahiyyah) yang tetap, karena sifat-sifat indrawi yang
berubah-ubah dan kondisinya pun berbeda-beda sedangkan fungsi esensi suatu
ialah memegang ciri-ciri yang substansinya yang pokok terjadi perubahan keadaan
Pencarian
dilakukan oleh para filsuf, tidak terkecuali filosof muslim diantaranya
1.
Al-kindi
Al-kindi membagi filsafat kepada tiga bagian yaitu
thibiyyat
(ilmu fisika), al-ilm ar-riyadhi(matematika, ilm ar-rububiyah(ilmu ketuhanan
2.
Al-farobi
Ia mengatakan bahwa filsafat ialah
semua yang wujud karena ia wujud (al – ilm
bilmaujudat bimahiyah maujudah)
B.
RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang
dimaksud filsafat hukum islam?
2.
Apa yang
dimaksud pola pemikiran hukum islam?
C.
TUJUAN
MASALAH
1.
Untuk mengetahui
filsafat hukum islam
2.
Untuk mengetahui
pola pemikiran hukum islam
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI
Secara etimologi
filsafat berasal dari bahasa yunani philos
yang artinya cinta dan sophia yang
berarti kebijaksanaan.
Secara
termologis,filsafat mempunyai arti yang bervariasi. Juhaya S.Pradja (200:2)
mengatakan bahwa arti sangat formal dari filsafat adalah suatu proses kritik
atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang dijunjung tinggi.
filsafat adalah
pencarian kebenaran melalui alur berpikir yang sistematis,artinya perbincangan
mengenai segala sesuatu dilakukan secara teratur mengikuti sistem yang berlaku
sehingga tahapan-tahapannya mudah diikuti.[1]
Tujuan
filsafat adalah memberikan Weltanchauung (filsafah hidup).Weltanchauung mengajari manusia untuk menjadi manusia yang sebenarnya, yaitu
manusia yang mengikuti kebenaran, mempunyai ketenagan pikiran, kepuasan,
kemantapan hati, kesadaran akan arti dan tujuan hidup, gairah rohani dan
keinsafan.
Setelah
itu mengaplikasikannya dalam bentuk topangan atas dunia baru, menuntun
kepadanya, mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, berjiwa dan bersemangan
universal, dan sebagainya. [2]
Hukum
berasal dari bahasa Arab (الحكم) yang secara etimologi berarti “memustuskan, menetapkan dan
menyelesaikan”. Kata hukum dan kata lain yang berakar dari kata itu terdapat
dalam 88 tempat di dalam Al-Qur’an; tersebar dalam beberapa surat yang
mengandung arti tersebut. Selanjutnya kata hukum juga sudah menjadi kata baku
dalam bahasa Indonesia[3].
Islam
(al-islām, الإسلام) memiliki arti "penyerahan", atau
penyerahan diri sepenuhnya. Sebagai ajaran, Islam adalah agama yang mengimani
satu Tuhan, yaitu Allah. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim
yang berarti "seorang yang tunduk kepada Tuhan", atau lebih
lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimah bagi perempuan.[4]
Filsafat
Hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia, dan tujuan hukum
Islam, baik yang menyangkut materi maupun proses penetapannya, atau filsafat
yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan dan memelihara hukum Islam sehigga
sesuai dengan maksud dan tujuan penetapannya di muka bumi. Yaitu untuk
kemaslahatan umat manusia seluruhnya.[5]
B.
POLA
PEMIKIRAN HUKUM ISLAM
Meskipun telah dijelaskan, syariah Islam, fikih Islam, dan hukum Islam,
namun pemakalah hanya membahas masalah Hukum Islam, terlepas dari perbedaan
pendapat para ahli.
Untuk
memudahkan pembahasan materi ini pemakalah membatasi pendapat para ahli, bahwa
yang kita bahas adalah “pemikiran tentang Hukum Islam”.
Masa Nabi Muhammad saw ini juga
disebut sebagai periode risalah, karena pada masa-masa ini agama Islam baru
didakwahkan. Pada periode ini, permasalahan fikih/ hukum Islamdiserahkan sepenuhnya kepada Nabi Muhammad
saw. Alquran diturunkan menjadi petunjuk dan pedoman hidup manusia. Ayat
demi ayat yang diterima oleh Rasulullah saw, diterangkan
dan dijabarkan lebih jauh oleh beliau yang kemudian diamalkan oleh kaum
Muslimin.
Namun, sepeninggal Nabi saw, Alqur’an atau
al-Sunnah terhenti sedangkan masalah terus berdatangan sesuai dengan
perkembangan zaman.
Perubahan
dan perkembangan zaman, terkadang lebih cepat dari hukum yang mengatur, hukum
sering terlambat mengantisifasi problema yang dihadapi masyarakat, begitu juga
dengan hukum Islam. Hal ini membuat para pemikir atau ulama berusaha untuk
memecahkanproblem atau masalah-masalah
yang timbul belakangan dengan
penemuan hukum (ijtihad) sebagai perspektif hukum Islam.
Perspektif
hukum Islam lazim dibangun dengan berbagai metode. Tentu di dalamnya tidak
hanya mengatur hubungan bersifat horisontal, juga ada garis bersifat vertikal.
Pemikiran Islam dapat dilihat dengan
dua aspek yaitu aspek Eksoteris dan aspek Isoteris, Aspek Isoteris adalah aspek
yang bersifat rahasia dan hanya untuk diketahui oleh orang-orang tertentu,
aspek ini seringkali diartikan sempit, sedangkan aspek eksoteris berarti bebas
tanpa dibarengi dogma dan bisa dikatakan murni. Dalam dinamika Intelektual
Islam, perbedaan pendangan dengan menggunakan kedua aspek tersebut, seringkali
menyebabkan adanya perbedaan interpretasi terhadap pemikiran. Akibatnya banyak
timbul keberagaman dalam pemikiran. Sejarah mencatat, munculnya berbagai
madzhab, aliran, firqah, golongan, ormas dan kelompok-kelompok dalam Islam,
mewarnai dinamika perjalanan pemikiran Islam, baik dari masa klasik hingga
modern.
1. Pemikiran Hukum
Islam Klasik
Karakter
pemikiran hukum Islam klasik tergambar dari beberapa konsep antara lain:Iza
shahha al-hadīs fahuwa mazhabī (jika hadis itu telah shahīh maka
itulah mazhabku), la masāgha lil ijtihād fi maurid al-nash (masalah
yang telah ada nash tidak boleh lagi diijtihādi). Konsep
populer ini menunjukkan sumber utama hukum Islam klasik adalahnash/teks,
baik Alqur’an atau al-Sunnah.
Hampir semua
masalah bisa terjawab dengan Alqur’an atau al-Sunnah dan patwa para sahabat
Nabi saw. Namun, ketika Islam mulai menyebar ke penjuru dunia, masalah barupun
bermunculan. Maka, tidak bisa lagi mengandalkan nash/teks, baik
Alqur’an atau al-Sunnah secara teks bahasa.
Sedangkan
bahasa yang digunakan dalam Alqur’an atau al-Sunnah adalah bahasa Arab. Jadi,
metode terpenting dalam menggali hukum adalah bahasa. Implikasinya, trend
kajian pemikiran hukum Islam (ushūl al-fiqh) didominasi oleh kaidah
kebahasaan (qāidah lughawiyah) atau logika bahasa (seperti mantiq) yang
deduktif dan sulit menerima perubahan. Sedangkan hukum dari realitas empiris (al-’adat,
syar’u man qablana, dan sains misalnya) dan nalar rasio (istihsān)
menjadi langka dan sulit diterima. Jadi, hukum yang dikeluarkan tidak jauh
berbeda dengan teks Alqur’an atau al-Sunnah.
Para
ilmuan mulai berpikir untuk menghadapi perubahan zaman dan permasalah baru yang
dihadapi, sedangkan teks Alqur’an
atau al-Sunnah dibisa dipahami apa adanya, apalagi adanya benturan adat, budaya
dan tradisi. Hal ini Perlu adanya ijtihad
atau pemikiran baru (tajdid) para ilmuan.
Jejak
tajdid sebenarnya sudah ada pada jaman para sahabat. Terutama apa yang telah
dilakukan Umar ibn Khattab. Contoh tajdidnya antara lain; tidak
membagikan tanah pertanian di Syiria dan Irak yang baru dibebaskan kepada
tentara Muslim yang turut berperang, tetapi justru kepada petani kecil
setempat, sekalipun mereka ini belum menjadi Muslim. Pemikiran Umar yang
menjadi kebijakan Khalifah ini menimbulkan protes keras dari kalangan Sahabat
yang lain. Dipelopori Bilal, sang Muadzin Nabi, banyak Sahabat menuduh Umar
telah menyimpang dari Alqur’an, yang menurut mereka, telah jelas menyatakan ke
mana saja harta rampasan perang didistribusikan (Q.S. al-Anfal). Lagi pula Nabi
sendiri telah pernah membagi-bagi tanah pertanian rampasan serupa itu kepada
tentara, yakni tanah-tanah pertanian Khaibar setelah dibebaskan dari kekuasaan
Yahudi yang memusuhi Nabi saw.
Contoh lain; tindakan Umar yang
melarang tokoh Sahabat Nabi menikah dengan perempuan Ahl- al-Kitab (Yahudi dan
Nasrani), padahal al-Qur’an jelas membolehkan (Q.S. al-Maidah: 5). Umar tidak
berpegang pada makna lahiriyah teks al-Qur’an itu, akan tetapi ia melihat dari
perspektif sosio-politik umat Islam yang menurutnya jika perkawinan antar agama
diijinkan, maka akan terjadi kasus-kasus penelantaran kaum Muslimah. Melihat
contoh ini, sebagian ulama memandang bahwa apa yang dilakukan Umar adalah
sejenis ijtihad politik (tasharruf siyasi), yang timbul karena pertimbangan
kemanfaatan (expediency) menurut tuntutan zaman dan tempat.
Betapapun, ijtihad Umar menimbulkan kontroversi dikalangan
Sahabat dan penilaian negatif pada era berikutnya, adalah langkah tajdid pada
awal Islam sebagai upaya Umar melakukan kontekstualisasi ajaran Islam dalam
sejarah. Umar tidak meninggalkan nash al-Qur’an maupun Sunnah, tetapi ia
menggali semangat yang ada pada nash itu untuk diaktualisasikan kembali dalam
konteks problem kekinian yang dihadapi umat Islam pada masa Umar. Dapat dikatakan Umar adalah mujaddid pemikir Islam pertama dalam sejarah
Islam.
Banyaknya
pemikir Islam pada masa ini yang melakukan ijtihad dan tajdid menjadikan Islam
semakin mencapai puncak keemasannya dibidang ilmu pengetahuan.
2. Pemikiran Hukum Islam masa
Pertengahan
Setelah banyaknya
kitab dan buku yang ditulis para ulama mazhab dan ilmuan lainya, membuat umat
Islam seperti dimanja.
Apalagi
semacan adanya pemaham, bahwa pintu ijtihad telah tertutup pasca iman mazhab,
hal ini menimbulkan kemunduran perkembangan hukum Islam. Kemauan dan kemampuan
nalar kritis tradisi ijtihad mulai memudar bahkan tenggelam.
Ahli hukum
berpendapat bahwa empat aliran hukum diatas
yakni: Malikiyah,
Hanafiyah, Syafi’iyah dan HaNabillah sudah diganggap cukup, jadi dengan
demikian pintu ijtihad telah di anggap tertutup dan selalu memilih jalan taglid
(mengikuti pendapat mazhab ) tanpa meneliti sumbernya. Taglid berjalan terus
dalam bentuk ini dalam waktu yang lama hingga munculnya suatu gerakan baru yang
mendobrak tradisi kuno ini.
Pada masa
ini, mulai terlihat adanya konflik antar umat Islam, hal ini dimamfaatkan oleh
bangsa barat (yang tenggelam), setelah kebangkitan dan masa emas Islam.
Puncaknyaketika jatuhnya kekhilafahan bani
Abbasiyah di Baghdad pada 1258 M, akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakan
bangunan peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan mercusuar peradaban
dunia.
Sesungguhnya Eropa banyak berhutang
budi pada Islam karena banyak sekali peradaban Islam yang mempengaruhi Eropa,
seperti dari spanyol, perang salib dan sisilia. Spanyol sendiri merupakan
tempat yang paling utama bagi
Eropa dalam menyerap ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam, baik dalam bentuk
politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pendidikan.
3. Pemikiran Hukum Islam Modern
Sekurang-kurangnya
sejak abad ke-19 M., pemikiran modern dalam Islam muncul di kalangan para
pemikir Islam yang menaruh perhatian pada kebangkitan Islam setelah mengalami
masa kemunduran dalam segala bidang sejak jatuhnya kekhilafahan bani Abbasiyah
di Baghdad pada 1258 M., akibat serangan Hulagu yang meluluhlantakan bangunan
peradaban Islam yang pada waktu itu merupakan mercusuar peradaban dunia. Begitu
juga dengan pemikiran hukum Islam.
Setelah
sekian lama, umat Islam terkurung dalam koloni taklid, yang berakibat
perkembangan Islam stagnan. Kemudian timbul keinginan para pemikir
Islam untuk mendobrak dan melawan taklid, dengan kembali membuka pintu ijtihad.
Menurut kaum moderenis, ijtihad
adalah interprestasi rasiaonal terahadap Alqu’an untuk
memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang. Dan
sejarah neo-ijtihad bisa dilacak pada masa Ibnu Taimiyah (wafat 1328 M) yang
menjadi pengikut mazhab Hanabilah yang juga terkenal tidak punya lelah menetang
sikap menerima taklid dengan tanpa melihat dalil. Begitu juga Jamal al-din
Al-afghani yang terkenal dengan penyokong reformasi dalam Islam yang
menghabiskan hidupnya di Mesir selama
delapan tahun dan Muhammad Abduh yang kemudian menjabat seorang mufti
besar di Mesir.
Ada beberapa hal yang perlu disadari bahwa, sebenarnya hukum Islam itu elastis,
sebagaimana qaidah ushul fiqh
Adapun faktor penyebab elastisitas
hukum Islam adalah :
1. Allah
sebagai pembuat hukum tidak menetapkan secara taken for
Granted segenap hal, bahkan Dia membiarkan adanya suatu wilayah
yang luas tanpa terikat dengan nash. Tujuannya adalah untuk memberikan
keleluasaan, kemudahan dan rahmat bagi makhluk-Nya.
2. Sebagian
besar nash datang dengan prinsip-prinsip umum dan hukum-hukum yang universal
yang tidak mengemukakan berbagai rincian dan bagian-bagianya, kecuali di dalam
perkara yang tidak berubah karena perubahan tempat dan waktu seperti di dalam
perkara-perkara ibadah, pernikahan, thalak, warisan dan lain-lainya. Pada
selain perkara-perkara di atas, syariat Islam cukup menetapkannya secara global
3. Nash-nash
yang berkaitan dengan hukum-hukum yang parsial menghadirkan suatu bentuk
mukjizat yang mampu memperluas berbagai pemahaman dan penafsiran, baik secara
ketat maupun secara longgar; baik dengan menggunakan harfiah teks maupun
memanfaatkan substansi dan maknanya. Jarang sekali ditemukan teks-teks yang
tidak menyebabkan variasi pemahaman di kalangan para ulama di dalam penentuan
makna-maknanya dan menggali hukum-hukum dari teks-teks tersebut. Semua ini
berpulang dari watak bahasa dan berbagai fungsinya.
4. Di
dalam pemanfaatan wilayah-wilayah terbuka dalam penetapan atau penghapusan
hukum Islam terdapat kemungkinan untuk memanfaatkan berbagai sarana ynag
beraneka ragam, yang menyebabkan para mujtahid berbeda pendapat dalam penerimaan
dan penentuan batas penggunaaanya. Disinilah kemudian muncul peranan qiyas,
istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil bagi sesuatu yang tidak
ditemukan nashnya.
5. Adanya
prinsip pengantisipasian berbagai keadaan darurat, berbagai kendala, serta
berbagai kondisi yang dikecualikan dengan cara menggugurkan hukum atau
meringankannya. Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan atau membantu manusia
karena kelemahan mereka dihadapkan berbagai keadaan darurat yang memaksa serta
kondisi-kondisi yang yang menekan.[6]
Dari berbagai faktor yang telah
dijelaskan, dapat dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam dapat mengakomodir
segala bentuk dinamika masyarakat.
Selain faktor diatas, dalam hukum
Islam mengenal adanya kaidah Mulazamah. Kaidah ini mengatakan,
menurut para ulama, bahwa setiap hukum Islam, entah wajib, mustahab, haram dan
makruh, pastilah disebabkan pertimbangan atas suatu maslahat atau untuk menolak
suatu bahaya tertentu. Karena itu, hukum-hukum Islam punya karakteristik sangat
bijaksana. Hukum Islam tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak ada artinya.
Ada hubungan yang sangat erat antara hukum Islam dan akal-suatu hubungan yang
tidak dimiliki oleh agama-agama lain. [7]
Disamping
itu muncul peranan qiyas, istihsan, urf, istihshab dan lain-lain, sebagai dalil
bagi sesuatu yang tidak ditemukan nashnya.
Sejatinya, ijtihad sudah ada sejak
Nabi Muhammad saw masih hidup, hal ini tergambar pada saat beliau mengutus Muaz
bin Jabal, ketika Rasul mengirimnya ke Yaman untuk mengajar. Rasul bertanya
kepadanya: apa yang kamu perbuat apabila kamu dihadapkan pada suatu persoalan,
sedangkan kamu tidak mendapatkan ketentuan hukumnya di dalam kitab Allah dan
Sunah Rasulullah? Jawab Muaz:
aku akan berijtihad dengan akal dan pikiran. Kemudian Nabi menjawab” segala
puji bagim Allah yang telah member taufiq”.[8]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pemikiran hukum Islam di masa
Nabi belum menampakkan corak pemahaman yang diakibatkan oleh perbedaan
penafsiran, karena posisi Nabi selain sebagai bayan (pemberi
penjelasan) juga sebagai penetap hukum atau masalah yang muncul. Beliaulah dan
hanya dari beliau sendiri, baik yang berupa wahyu maupun yang berupa musyawarah
dengan para sahabt-sahabat, dan dapat dianggap sah sesuatu penetapan hukum.
2. Pada periode Pemikiran
Hukum Islam Masa sahabat, para ulama mulai berbenturan dengan adat, budaya dan tradisi yang terdapat pada
masyarakat Islam kala itu. Ketika menemukan sebuah masalah, para ulama awalnya berusaha mencari jawabannya dari Alqur'an. Jika
di Alqur'an tidak
diketemukan dalil yang jelas, maka hadits menjadi
sumber kedua. Dan jika tidak ada landasan yang jelas juga di Hadits maka
para ulama ini
melakukan ijtihad dan tajdid.
3.
Perkembangan hukum Islam mencapai puncaknya setelah para ulama menulis beberapa
kitab yang menjadi rujukan umat Islam, namun pasca ulama mazhab perkembangan
hukum Islam mulai menurun, karena adanya pemahaman bahwa, pintu ijtihad telah
tertutup.
4. Hukum
Islam, kembali memnggeliat dan terus berkembang, dimulai pada abad ke 19.
Bermunculan para modernis yang terus mengembangkan keilmuanya bukan hanya hukum
Islam, namun ilmu-ilmu lainnya juga.
B. SARAN
[1] Atang abdul hakim dan beni ahmad
saebani2008.filsafat umum dari metologi sampai teofilosfi,
pustaka
setia, bandung.
H 14-15
[2] Lois
O. Kattsoff, 1992, Pengantar Filsafat, Soejono Soemargono, Yogyakarta,
Tiara Wacana Yogya
[3] Muslehuddin, Philosophi Of Islamic Law And
The Orientalis, 1980, Lahore: Islamic Publication
[5] Syarifuddin, Amir, 1992, Pengertian Dan Sumber Hukum
Islam, Jakarta, Departemen Agama, Bumi Aksara.
[6]
Abdul halim ‘Uways, al-Fiqh al-Islami bayn ath-Tathawwur wa ats-Tsabat,
diterjemahkan oleh A. Zarkasyi Chumaidy dengan Judul Fiqh Statis dan Dnamis,( Cet. I; bandung; Pustaka al-Hidayah, 1998), h. 211.
[7]
Murtadha
Muthahhari, Inna ad-Din Inda
Allah al-Islam, diterjemahkan
oleh Ahmad Sobandi dengan judul Islam
dan Tantangan Zaman, (Cet. II: Bandung; Pustaka Hidayah, 1996), hlm. 256.
[8]
Abdul Wahab
Khalaf, Khulastut Tarikh
Tasyri’ al-Islami. Dalam H. Roibin, Penetapan
Hukum Islam dalam lintas Sejarah, Malang, UIN-Maliki Press, 2010, hlm. 31
demikian makalah saya buat mohon maaf apabila ada yang salah
No comments:
Post a Comment