Makalah
Ushul fiqh
SYAR’U MAN QABLANA
D
I
S
U
S
U
N
ADJIE SEPTIYAHADYANTO
M. TRISNO LUBIS
ZAINAL ABIDIN
FAKULTAS SYARIAH
JURUSAN MUAMALAH
2014 - 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi
Allah SWT. Tuhan Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang, yang telah memberikan
taufik dan hidayah-Nya kepada kita sehingga dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “Syar’u Man Qablana”, sebagai tugas Mata pelajaran Ushul
Fiqh.
Shalawat dan salam semoga tercurah selalu kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Beserta keluarga, sahabat, kerabat, dan
pengikut-pengikut beliau, semogasyafaatnyakitadapat di akhiratnanti.
Pemakalah
menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi penulisan maupun
bahasa yang digunakan. Untuk itu penulis mohon maaf dan kami mengharapkan
saran-saran dan kritik yang sifatnya membangun. Semoga sebuah makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca, dan Pemakalah pada khususnya.
Medan, Mei 2015
Pemakalah
Daftar isi
BAB
I
PENDAHULUAN.........................................................................................................1
BAB
II PEMBAHASAN..........................................................................................................2
A.
Pengertian Syar’u Man Qablana....................................................................................2
B.
Pendapat ulama tentang Syar’u Man Qablana...............................................................2
C.
Macam – macam Syariat terdahulu...............................................................................6
D. Hukum dan Kehujjahan Syariat Terdahulu...................................................................7
BAB
III PENUTUP.................................................................................................................11
A.
Kesimpulan...................................................................................................................11
B.
Saran ............................................................................................................................11
Daftar pustaka..........................................................................................................................12
BAB
I
PENDAHULUAN
Sebelum
datangnya agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad SAW, terlebih dahulu
datang agama-agama lain yang dibawa
oleh nabi-nabi sebelumnya, seperti nabi Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa dan nabi
Isa beserta syari’at atau hukum-hukum yang mengatur kehidupan pada masa itu.
Jika Al-qur’an
atau sunnah yang Shahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan kepada umat
yang dahulu melalui para Rasul, kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita
sebagaimana diwajibkan kepada mereka maka tidak diragukan lagi bahwa syariat
tersebut juga ditujukan kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti. Atau
dengan kata lain pula tidak ada perbedaan penadapat bahwasanya hukum tersebut
merupakan syariat untuk kita dan suatau undang-udang yang wajib diikuti,
berdasarkan penetapan syara’.
Untuk
mengetahui lebih lanjutnya tentang syari’at atau yang biasa disebut Syar’u Man Qablana masih berlaku atau tidak pada masa
sekarang, maka kami akan menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan syar’u
man qablana, pendapat para ulama terhadap syar’u man qablana dan bagaimana
ketetapan syar’u man qablana dalam penetapan hukum pada zaman sekarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
sayar’u man qablana
syar’u
man qablana ialah syariat yang dibawa oleh rasul terdahulu, sebelum di
utusnya Nabi Muhamamad SAW yang menjadi petunjuk bagi kaum yang mereka diutus
kepadanya, seperti syariat Nabi Ibrahim,
Nabi Musa, Nabi Isa, dan lain sebagainya.
Jadi, Syar’u man qablana adalah syariat
atau ajaran - ajaran nabi sebelum Islam yang berhubungan dengan hukum, seperti
syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa as, dan lain sebagainya.
Syariat
sebelum islam atau syariat samawi terdahulu dapat dinyatakan sebagai autentik
adalah apa yang di lakukan dalam
Al-qur’an dan diberlakukan bukan untuk umat islam.
B. Pendapat para ulama tentang syar’u man
qablana
Para
ulama Usul fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak tercantum
dalam Al-qur’an dan Sunnah Rasullah tidak berlaku lagi bagi umat islam, karena
kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat terdahulu.
Demikian pula para ulama ushul fiqh
sepakat, bahwa syariat sebelum Islam syariat yang dicantumkan dalam alqur’an
adalah berlaku bagi umat islam bilamana ada ketegasan bahwa syariat itu berlaku
bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun
keberlakuannya itu bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum islam
tetapi karena di tetapkan oleh Al-qur’an.
Misalnya puasa ramadhan
yang diwajibkan kepada umat islam adalah syari’at sebelum islam.
Sepertidalam
al-qur’an surat Al-baqarahayat 183 :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Para
Ulama Ushul fiqih berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi terdahulu
yang tercantum dalam al-qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-hukum
itu masih berlaku bagi umat islam dan tidak pula ada penjelasan yang
membatalkanya.
Misalnya persoalan hukum Qishas
(hukuman setimpal) dalam syari’at nabi Musa yang diceritakan dalam al-qur’an surat Al - maidah ayat 45 :
وَكَتَبْنَا
عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ
وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ
كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾
Artinya: “ Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.”
Dari sekian banyak hukum Qishas dalam ayat tersebut yang ada ketegasan berlakunya bagi umat islam
hanyalah qishas karena pembunuhan seperti ayat 178 Surah Al-Baqarah sebagai berikut :
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ
الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَىٰ بِالْأُنْثَىٰ ۚ
فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ
إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ
اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang
dibunuh, orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, endaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi
maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih”.
Para ahli ilmu
Usuhul fiqih membaginya kedalam 3 kelompok :
1.
Syari’at tedahulu yang
terdapat kedalam al-qur’an atau penjelasan yang disyari’atkan untuk umat
sebelum nabi Muhammd dijelaskan pula dalam al-qur’ana atau hadist nabi bahwa
yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi bagi umat nabi Muhammad.
Firman Allah dalam surat al-An’am ayat 146 :
وَعَلَى الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِي ظُفُرٍ ۖ
وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُومَهُمَا إِلَّا مَا
حَمَلَتْ ظُهُورُهُمَا أَوِ الْحَوَايَا أَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۚ ذَٰلِكَ
جَزَيْنَاهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ
Artinya : “Dan kepada
orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan dari sapi
dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain
lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau
yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan
kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.”
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam al-qur’an
maupun hadist nabi disyari’atkan untuk umat sebelumnya dan dinyatakan pula
berlaku untuk umat nabi Muhammad dan dinyatakan berlaku untuk selanjutnya.
Firman Allah dalam
surat al-baqarah ayat 183:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”
3. Hukum-hukum
disebutkan dalam al-qur’an atau hadist nabi dijelaskan berlaku untuk umat
sebelum nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku untuk kita,
juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.
Firman Allah dalamsurat al-Maidah ayat 45 :
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ
وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ
وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ
تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا
أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾
Artinya: “ Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka
di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)
nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak
memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Makamerekaituadalah
orang-orang yang zalim.”
3.
Macam-Macam Syari’at
Terdahulu
Al-Quran dan Hadis
juga mengisahkan hukum-hukum Syar’i yang diyariatkan Allah kepada umat
terdahulu sebelum kita. Ada hukum-hukum syar’i yang disampaikan kepada umat
Nabi Muhammad SAW yang telah disampaikan juga kepada umat dahulu kala.
Syariat-syariat terdahulu ada kalanya tidak berbeda dari apa yang disyariatkan
kepada kita berupa peraturan-peraturan yang wajibkitaikuti.
Mengenai syariat
terdahulu dalam hubungannya dengan syariat umat Muhammad SAW, maka syariat
sebelum kita dibagi dua:
1)
Syariat yang telah
dihapuskan oleh syari’at kita
Jika Al-Quran
atupun hadis telah menerangkan tentang syariat umat terdahulu dan dijelaskan
pula bahwa syariat itu telah dihapus, maka tidak boleh dijalankan.
Ajaran agama yang telah di hapuskan oleh syariat kita (mansukh) contoh:
Pada syariat nabi Musa AS,
pakaian yang terkena tidak suci lagi, kecuali dipotong apa yang kena najis itu.
2) Syariat yang tidak dihapuskan, bagian
inidibagimenjadidua
- Syariat yang ditetapkan oleh
syariat kita, bagian ini tanpa diperselisihkan dan harus kita amalkan
karena bagian initermasuksyariatkita.Contoh: perintahmenjalankanpuasa
- Syariat yang tidak
ditetapkan oleh syariat kita, bagian ini dibagi dua:
Syariat yang diceritakan kepada
kita, baik melaui al-Qur’an atau Hadis Nabi tetapi tidak tegas diwajibkan atas
kita sebagaimana diwajibkan atas umat sebelum kita seperti yang disebut dalam
al-Qur’an “kami wajibkan atas mereka (bani Israil) dalam kitab taurat, bahwa
jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga
dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka sebagai qisas. (QS. al-Maidah
45)
Syariat yang tidak disebut-sebut
sama sekali. Bagian ini tanpa diperselisihkan lagi untuk tidak boleh
menjalankannya. Bagian ini tidak kita ketahui kecuali dengan jalan
berturut-turut melalui pengamatan sejarah dan tidak dapat menerimanya dari ahli
kitab sendiri, sebab mereka telah mengubah isi kitab mereka. (QS. an Nisa’ : 41
dan al-Maidah: 13).
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa
syariat para nabi terdahulu terdahulu yang tidak tercantum dalam Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah tidak berlaku lagi bagi umat islam. Pandangan ini berargumentasi bahwa kedatangan syariat islam telah
mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu. Demikian pula, para ulama
Ushul Fiqh sepakat bahwa syariat terdahulu yang dicantumkan dalam Al-Quran
adalah berlaku bagi umat Islam bila mana ada ketegasan bahwa syariat itu
berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Namun, keberlakuannya itu bukan karena
kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh
Al-Quran.
C. Hukum dan Kehujjahan Syariat Terdahulu
Sebelum membahas
kehujjahan syariat-syariat terdahulu mengenai keabsahnnya untuk diambil sebagai
sumber hukum Islam. Perlu dikemukakan tiga hal sebagai berikut:
- Hukum-hukum
dari syariat umat terdahulu tidak bisa diketahui tampa melalui
sumber-sumber hukum Islam. Maka, penukilan syariat tidak dipandang sah
jika tidak disandarkan pada sumber-sumber tersebut. Sebab yang bisa
dijadikan hujjah dalam hukum bagi kaum muslimin adalah sumber-sumber hukum
Islam. Hal ini merupakan kesepakatan para ahli fiqh.
- Sesuatu yang
telah dinasakh berdasarkan dalil hukum Islam, tidak bisa diambil. Begitu
pula apabila terdapat dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu ketentuan hukum
berlaku khusus untuk kaum tertentu. Ketentuan itu tidak bisa bertlaku
meluas kedalam syariat Islam seperti diharamkannya bagian-bagian tertentu
dari daging sapi dan kambing bagi bani Israil. Hal ini juga berdasarkan kesepakatan
para ahli fiqh.
- Suatu hukum
yang diakui dalam Islam sebagaiman halnya diakui dalam Agama-Agama Samawi
terdahulu, status hukumnya adalah didasarkan dengan nash Islami, bukan
dengan hikayat umat terdahulu. Contoh seperti firman Allh SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿ البقرة : ۱۸۳﴾
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS.
Al-Baqarah : 183).
Perselisihan para
ulama terhadap syariat terdahulu mengenai syariat mereka yang diceritakan
kepada kita melalui al-Quran atau hadis akan tetapi tidak diterangkan bahwa
syariat itu masih tetap berlaku atau sudah dihapuskan.Contohnya seperti firman
Allah SWT:
وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ
وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ
كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ ﴿المائدة : ٤٥﴾
Artinya: Dan Kami
telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Baqarah :
45).
Pada bagian ini,
para ulama ahli fiqh berselisih pendapat. Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah
dan mayoritas Syafi’iyyah serta golongan hambali bahwa hal itu tergolong syara’
dan termasuk sumber pokok yang berdiri sendiri. Sebab menurut hukum asal,
syariat-syariat samawi merupakan satu kesatuan. Disamping itu terdapat pula
nash-nash yang menerangkan agar kita kita mengikuti Nabi-Nabi terdahulu.Firman Allah SWT:
أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ ﴿
سورة الأنعام : ٩٠ ﴾
Artinya: Mereka Itulah
orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, Maka ikutilah petunjuk
mereka. (QS. Al-An’am : 90)
Oleh karena itu,
Ulama Mazhab Hanafi menetapkan hukum mati terhadap terhadap seorang muslim yang
membunuh non-muslim.
Menurut para ulama
Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan syafi’iyah dan salah satu pendapat Ahmad
bin Hambal bahwa syariat sebelum Islam yang disebut dalam Al-Quran tidak
menjadi syariat bagi umat Nabi Muhammad SAW kecuali ada ketegasan untuk itu.
Firman Allah
SWT:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا
بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ
بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ
الْحَقِّ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ
لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ
بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ . ﴿ سورة المائدة : ٤۸ ﴾
Artinya: Dan Kami
telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap
Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan
dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu.(QS. Al-Maidah : 48).
Selain dalil
diatas, mereka juga berargumen dengan riwayat mengenai percakapan Rasulullah
dengan Mu’az bin Jabal ketika hendak diutus untuk menjadi hakim di Yaman.
Menurutmereka bahwa
dalam hadis ini tidak terdapat petunjuk Rasulullah SAW untuk merujuk kepada
syariat-syariat nabi terdahulu
Abdul wahhab
Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul Fiqh’ menjelaskan bahwa yang terkuat dari dua
pendapat tersebut adalah pendapa yang pertama diatas. Alasannya bahwa syariat
Islam hanya membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh
karena itu, segala hukum-hukum para Nabi terdahulu yang disebut dalam Al-Quran
tampa ada ketegasan bahwa hukum itu telah dihapus, maka hukum itu berlaku umat
Nabi Muhammad SAW. Disamping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam al-Quran
yang merupakan petunjuk bagi umat Islam menunjukkan berlakunya bagi umat
Muhammad SAW.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita
akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang mengandung
keselasaran dengan apa yang dibawa Nabi kita Muhammad SAW dan diakui oleh
al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi. Syar’u man
qablana dapat dibagi menjadi 3 macam yaitu :
a. Ajaran agama yang telah dihapuskan oleh syar’iat kita (dimansukh)
b. Ajaran yang ditetapkan oleh syariat kita.
c. Ajaran yang tidak ditetapkan oleh Syari’at kita
Para Ulama menggunakan beberapa
dalil untuk membuat ketentuan dalam mencari kehujjahan dalil syariat umat yang
terdahulu apakah berlaku juga umtuk umat Nabi Muhammad. Maka pada dasarnya
syariat yang ditetapkan kepada umat terdahulu dapat dikatakan relatif atau
partikuker yang wajib diikuti oleh umat Nabi Muhammad. Artinya berdasarlkan
kesepakatan ulama jika syari’at itu ditegaskan kembali oleh ketetapan Allah dan
Rosulnya, maka syari’at tersebut wajib untuk diikuti.
Demikianlah uraian yang singkat tentang pembahasan Syar’u
Man Qablana, semoga kita dapat mengambil manfaatnya dan dapat memperaktekannya
dalam kehidupan yang semakin berkembang ini.
B. Saran
Selanjutnya
melalui makalah ini, saya mangajak kepada kaum muslimin dan kaum muslimat
khususnya para mahasiswa agar meninjau kembali beberapa fatwa shahabat mengenai
kasus-kasus hukum yang belum terdapat didalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah
SAW. Serta
dapat melihat dengan jelas beberapa perbedaan pendapat ulama tentangkedudukan
sumber hukum islam yang masih diperdebatkan tersebut.
Daftar Pustaka
Effendi, Satria. Zein, Muhammmad. Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2005, Cet. V
Said, Yusuf. Ushul Fiqh, Bandung : Cita Pustaka Media
Perintis, 2010, Cet I
Syarifuddin, Amir. Garis-garis Besar Ushul Fiqh,
Jakartaa:Kencana Prenada Media Group, 2012, Cet I
Hanafie, Ahmad. Ushul Fiqh, Jakarta: Widjaya, 1980, Cet VII
Khallaf, Abdul Wahab. Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, Cet.
I
Zahrah, M. Abu. Ushul
Fiqih, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
2011, Cet. XIV
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 163, Cet. III
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 165,
M. Abu Zahrah, Ushul Fiqih (Jakarta:
PT. Pustaka Firdaus, 2011), Hal 468, Cet. XIV
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166,
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal 166, Cet. III