Tugas Review Book
Kerangka berfikir aliran
–aliran
Ilmu kalam
OLEH :
NAMA : Adjie
SeptiyaHadyanto
JURUSAN/SEMESTER :
Muamalah/ I (Satu)
MATA KULIAH :
Ilmu Tauhid
FAKULTAS SYARIAH
IAIN- SU MEDAN
2014
BAB I
PENDAHULUAN
Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah sampai
pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi
rasional dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan
metode berfikir filosofis. Adapun argumentasi naqliyah biasanya bertendensi
pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadis.
Pembicaraan materi-materi yang tercakup dalam ilmu kalam
terkesan tidak menyentuh dzauq (rasa
rohaniah). Sebagai contoh, ilmu tauhid menerangkan bahwa Allah SWT bersifat sama’(mendengar), bashar(melihat), kalam
(berbicara), iradah (berkemauan), qudrah (kuasa), hayat (hidup), dansebagainya. Akan tetapi ilmu kalam atau ilmu
tauhid tidak menjelaskan bagaimana seseorang hamba dapat merasakan langsung
bahwa allah swt mendengar dan melihatnya.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu tasawuf berfungsi
sebagai pemberi wawasan spritual dalam pemahaman kalam, ilmnu tasauf merupakan
penyempurna ilmu tauhid jika dilihat dari sutut pandang bahwa ilmu tasauf
merupakan sisi terapan rohaniah dari ilmu tauhid. Ilmu kalam berfungsi sebagai
pengendali ilmu tasauf.
Ilmu kalam adalah sendi pokok agama,
berarti menjadi sumber pokok dari cabang-cabang ilmu-ilmu agama lainnya. Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam
pada dasarnya merupakan upaya memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan
keputusan para ulama aliran teologi dalammenyelesaikan persoalan-persoalan kalam. Pada dasarnya, potensi yang
dimiliki setiap manusia, baik berupa potensi biologis maupun potensi psikologis,
secara natural adalah sangat signifikan.
Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan ilmu
kalam, pastinya terdapat perbedaan perspektif antara pemikiran satu dengan
pemikiran lainnya. Sebagaimana kata “kalam” yang berarti “pembicaraan”.
Pembicaraan dalam hal ini yaitu, tentang masalah-masalah ketuhanan dengan
menggunakan argumentasi, logika dan filsafat serta memperbandingkan masalah
yang menyangkut pokok-pokok agama dan yang berhubungan dengannya. Ilmu kalam ataupun
filsafat islam tidak akan muncul tanpa adanya perbedaan-perbedaan paradigma
(pandangan) antara satu paham dengan paham lainnya. Aliran mu’tazilah dalam hal
ini sangat berpengaruh terhadap lahirnya Ilmu Kalam, yang bisa dikatakan
sebagai pencetus paham yang memberikan daya yang kuat terhadap akal (rasional).
Karena adanya perbedaan pendapat inilah sehingga muncul berbagai aliran-aliran
dan juga metode-metode berfikir yang menjadi ciri dari masing-masing aliran
tersebut. Secara umum, metode/kerangka berfikir dalam ilmu kalam dapat
dikelompokkan lebih dari dua yaitu, metode berfikir liberal dan metode berfikir
tradisionil, yang masing-masing mempunyai prinsip yang berbeda. Free
will ataupredestination (liberal), menekankan aspek yang
besar terhadap logika (akal). Sedangkan fatalism (tradisionil),
tidak begitu besar menekankan pada aspek akal. Kedua corak ini tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
Kerangka Berfikir Aliran-aliran Ilmu Kalam
A.
Defenisi Kerangka Berfikir
Kerangka
berfikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-pemahaman lainnya,
sebuah pemahaman yang paling mendasar dan menjadi pondasi bagi setiap pemikiran
selanjutnya. Untuk mendapatkan sebuah kerangka berfikir akan suatu hal bukan
sesuatu yang mudah, di perlukan suatu pemikiran yang ,diperlukan suatu pemikiran yang mendalam tidak menyimpulkan hanya dari
fakta yang dapat terindra, atau hanya dari sekedar informasi- informasi yang
terpenggal.
Selain
itu di perlukansebuah pemikiran yang cerdas dan mustanir (cemerlang) akan
setiap maqlumat tsabiqah (informasi) yang dimiliknya dan berupaya dengan keras
menyimpulkan kesimpulan yang memnunculkan keyakinan.
B.
Defenisi Ilmu kalam
Kalam menurut
bahasa ialah ilmu yang membicarakan/membahas tentang masalah
ke-Tuhanan/ketauhidan (meng-Esakan Tuhan), atau kalam menurut loghatnya ialah
omongan atau perkataan. Sedangkan menurut istilah Ilmu Kalam
ialah sebagai berikut:
a. Menurut
Ibnu Khaldun, Ilmu Kalam ialah ilmu yang berisi alasan –alasan
mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman dengan menggunakan dalil pikiran
dan berisi bantahan terhadap orang-orang yang menyeleweng dari kepecayaan
aliran golongan salaf dan ahli sunah
b. Menurut
Husain Tripoli, Ilmu Kalam ialah ilmu yang membicarakan bagaimana
menetapkan kepercayaan-kepercayaan keagamaan agama Islam dengan bukti- bukti
yang yakin
c. Menurut
Syekh Muhammad Abduh definisi
Ilmu Kalam adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang
wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang jaiz bagi-Nya dan tentang sifat-sifat yang
ditiadakan dari-Nya dan juga tentang rasul-rasul Allah baik mengenai sifat
wajib, jaiz dan mustahil dari mereka.
d. Menurut
Al-Farabi definisi
Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang membahas Dzat dan Sifat Allah beserta
eksistensi semua yang mungkin mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai
masalah sesudah mati yang berlandaskan doktrin Islam
e. Menurut
Musthafa Abdul Razak, Ilmu Kalam ialah ilmu yang berkaitan dengan
akidah imani yang di bangun dengan argumentasi-argumentasi rasional.
Jadi Ilmu Kalam adalah Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu
keislaman yang banyak mengedepaankan pembicaraan tentang persoalan persoalan
kalam Tuhan.
C.
Kerangka Berfikir Aliran-aliran Ilmu Kalam
Mengkaji aliran-aliran ilmu kalam pada dasarnya
merupakan upaya untuk memahami kerangka berfikir dan proses pengambilan
keputusan para ulama aliran teologi dalam menyelesaikan persoalan-persoalan
kalam. Perbedaan kesimpulan satu dengan kesimpulan lainnya dalam mengkaji suatu
objek tertentu merupakan suatu hal yang bersifat natural.
Mengenai sebab-sebab pemicu perbedaan pendapat, ada
dua pendapat diantaranya, yaitu: Ad-Dahlawi; Tampaknya lebih menekankan
aspek subjek pembuatan keputusan sebagai pemicu perbedaan pendapat. Penekanan
serupapun pernah dikatakan Imam Munawwir. Ia mengatakan bahwa perbedaan
pendapat di dalam Islam lebih dilatarbelakangi adanya beberapa hal yang
menyangkut kapasitas dan kredibilitas seseorang sebagai figur pembuat
keputusan. Umar Sulaiman Asy-Syaqar; Ia lebih menekankan aspek objek
keputusan sebagai pemicu terjadinya perbedaan pendapat. Menurutnya, ada
tiga persoalan yang menjadi objek perbedaan pendapat, yaitu: persoalan
keyakinan (aqa’id), persoalan syariah, dan persoalan ekonomi.
Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat
dikategorikan menjadi dua macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan metode
berfikir tradisional. Metode berfikir secara rasional memiliki prinsip-prinsip
sebagai berikut ini:
« Hanya terikat dengan dogma-dogma yang dengan jelas
dan tegas disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis Nabi, yakni ayat yang qath’i (teks
yang tidak diinterpretasi lagi kepada arti lain, selain arti harfinya).
« Memberikan kebebasan kepada manusia dalam berbuat
dan berkehendak serta memberikan daya yang kuat kepada akal.
« Fokus dalam prinsip berfikir rasional adalah lebih
dominannya peran akal sehingga harus lebih ekstra keras berupaya untuk
menanamkan suatu ajaran atau konsep kepada orang lain.
D.
Aliran-aliran Ilmu Kalam
1. KHAWARIJ
a.
LATAR BELAKANG KEMUNCULANNYA.
Secara etimologis kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu kharaja yang berarti keluar, muncul, timbul, atau
memberontak Ini yang mendasari Syahrastani
untuk menyebut khawarij terhadap orang yang memberontak imam yang sah. Berdsarkan pengertian
etimologi ini pula, khawarij berarti
setiap muslim yang ingin keluar dari kesatuan umat Islam.
Adapun yang dimaksud khawarij
dalam terminologi ilmu kalam adalah suatu sekte / aliran pengikut Ali bin Abi
Thalib yang keluar meninggalkan barisan karena ketidaksepakatan terhadap
keputusan Ali yang menerima arbitrase ( tahkim ), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H / 648 M, dengan
kelompok bughat ( pemberontak ) Muawiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan khilafah.
Kelompok Khawarij pada mulanya memandang Ali dan pasukannya
barada di pihak yang benar karena Ali merupakan khalifah sah yang telah
dibai’at mayoritas umat Islam, sementara Muawiyah berada di pihak yang salah
karena memberontak khalifah yang sah. Lagi pula berdasarkan estimasi Khawarij, pihak Ali hampir memperoleh kemenangan
pada peperangan itu, tetapi karena Ali menerima tipu daya licik ajakan damai
Muawiyah, kemenangan yang hampir diraih itu menjadi raib.
Ali sebenarnya sudah mencium
kelicikan di balik ajakan damai kelompok Muawiyah sehingga ia bermaksud untuk
menolak permintan itu. Namun, karena desakan sebagian pengikutnya, terutama
ahli qurra seperti Al-Asy’ats bin Qais, Mas’ud bin
Fudaki At-Tamimi, dan Zaid bin Husein Ath-Tha’i, dengan sangat terpaksa Ali
memerintahkan Al-Asytar ( komandan Pasukannya) untuk menghentikan peperangan.
Setelah menerima ajakan damai,
Ali bermaksud mengirimkan Abdullah bin Abbas sebagai delegasi juru damai (hakam)
nya, tetapi orang-orang Khawarij menolaknya.
Mereka beralasan bahwa Abdullah bin Abbas berasal dari kelompok Ali sendiri.
Kemudian mereka mengusulkan agar Ali mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dengan
harapan dapat memutuskan perkara berdasarkan Kitab Allah.
Keputusan tahkim yakni Ali diturunkan dari jabatannya
sebagai khalifah oleh utusannya, dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah
pengganti Ali sangat mengecewakan orang-orang Khawarij. Mereka
membelot dengan mengatakan,“Mengapa kalian berhukum pada
manusia. Tidak ada hukum selain hukum yang ada di sisi Allah.” Imam
Ali menjawab, “Itu adalah ungkapan yang benar, tetapi mereka
artikan dengan keliru.” Pada sat itu juga orang-orang Khawarij keluar dari pasukan Ali dan langsung
menuju Hurura. Itulah sebabnya Khawarij disebut
dengan nama Hururiah. Kadang-kadang mereka
disebut dengan syurah dan Al-Mariqah.
Dengan arahan Abdullah
Al-Kiwa, mereka sampai di Hurura. Di Hurura, kelompok Khawarij ini melanjutkan perlawanan kepada
Muawiyah dan juga kepada Ali. Mereka mengangkat seorang pemimpin yang bernama
Abdullah bin Shahab Ar-Rasyibi.
b.
DOKTRIN-DOKTRIN POKOKNYA.
Di antara doktrin-doktrin
pokok Khawarij adalah berikut ini.
1. Kahlifah atau imam harus
dipilih secara bebas oleh seluruh umat Islam:
2. Khalifah tidak harus berasal
dari keturunan Arab. Dengan demikian setiap orang Muslim berhak menjadi
khalifah apabila sudah memenuhi syarat.
3. Khalifah dipilih secara
permanen selama yang bersangkutan bersifat adil dan menjalankan syari’at Islam.
Ia harus dijatuhkan, bahkan dibunuh kalau melakukan kezaliman.
4. Khalifah sebelum Ali ( Abu
Bakar, Umar, dan Utsman ) adalah sah, tetapi setelah tahun ketujuh dari masa
kekhalifahannya, Utsman r.a dianggap telah menyeleweng.
5. Khalifah Ali adalah sah tetapi
setelah terjadi arbitrase ( tahkim ), ia
dianggap telah menyeleweng.
6. Muawiyah dan Al Amr bin Al-Ash
serta Abu Musa Al-Asy’ari juga dianggap menyeleweng dan telah menjadi kafir.
7. Pasukan perang Jamal yang melawan Ali juga kafir.
8. Seseorang yang berdosa besar
tidak lagi disebut Muslim sehingga harus dibunuh. Yang sangat anarkis ( kacau )
lagi, mereka menganggap bahwa seorang Muslim dapat menjadi kafir apabila ia
tidak mau membunuh muslim lain yang telah dianggap kafir dengan risiko ia
menanggung beban harus dilenyapkan pula.
9. Setiap muslim harus berhijrah
dan bergabung dengan golongan mereka. Bila tidak mau bergabung, ia wajib
diperangi karena hidup dalam dar al-harb (
negara musuh ), sedang golongan mereka sendiri berada di dar al-Islam ( negara Islam ).
10. Seseorang harus menghindar
dari pimpinan yang menyeleweng.
11. Adanya wa’ad dan wa’id ( orang
yang baik harus masuk surga, sedangkan orang yang jahat harus masuk neraka ).
12. Amar ma’ruf nahi munkar.
13. Memalingkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang tampak mutasabihat (samar).
14. Qur’an adalah makhluk.
15. Manusia bebas memutuskan perbuatannya
bukan dari Tuhan.
Bila dianalisis secara
mendalam, doktrin yang dikembangkan kaum Khawarij dapat
dikategorikan ke dalam tiga kategori : politik, teologi, dan sosial. Dari
poin a sampai poin g dapat dikategorikan sebagai doktrin politiksebab membicarakan hal-hal yang
berhubungan dengan masalah kenegaraan, khususnya tentang kepala negara ( khilafah ).
c.
Perkembangan Khawarij
Sebagaimana telah dikemukakan,
khawarij telah menjadikan imamah-khilafah (
politik ) sebagai doktrin sentral yang memicu timbulnya doktrin-doktrin
teologis lainnya. Radikalitas yang melekat pada watak dan perbuatan kelompok
Khawarij menyebabkan mereka sangat rentan kepada perpecahan., baik secara
internal kaum Khawarij sendiri, maupun secara eksternal dengan sesama kelompok Islam
lainnya. Para pengamat berbeda pendapat tentang jumlah sekte yang terbentuk
akibat perpecahan yang terjadi dalam tubuh Khawarij. Al-Baghdadi mengatakan
bahwa sekte ini telah terpecah menjadi 18 subsekte. Adapun,
Al-Asyfarayani, seperti dikutip Baghdadi, mengatakan bahwa sekte ini telah
pecah menjadi 22 subsekte.
Terlepas dari berapa banyak
subsekte pecahan Khawarij, tokoh-tokoh yang disebutkan di atas sepakat bahwa
subsekte Khawarij yang besar terdiri dari 8 macam, yaitu :
J Al-Muhakkimah.
J Al-Azriqah.
J An-Nadjat.
J Al-Baihasiyah
J Al-Ajridah.
J As-Saalabiyah.
J Al-Abadiyah.
J As-Sufriyah
Semua subsekte itu
membicarakan persoalan hukum bagi orang yang berbuat dosa besar, apakah ia
masih dianggap Mukmin ataukah telah menjadi kafir. Tampaknya, doktrin teologi
ini tetap menjadi primadona dalam pemikiran mereka, sedangkan doktrin-doktrin
yang lain hanya pelengkap saja. Sayangnya, pemikiran subsekte ini lebih
bersifat praktis daripada teoritis, sehingga kriteria mukmin atau kafirnya
sesorang menjadi tidak jelas. Hal ini menyebabkan – dalam kondisi tertentu –
seseorang dapat disebut mukmin dan pada waktu yang bersamaan disebut sebagai
kafir.
Tindakan kelompok Khawarij ini
merisaukan hati umat Islam saat itu, sebab dengan cap kafir yang diberikan
salah satu subsekte tertentu Khawarij, jiwa seseorang harus melayang, meskipun
oleh subsekte yang lain ia masih dikategorikan mukmin. Bahkan, dikatakan bahwa
jiwa seorang Yahudi atau Majusi masih lebih berharga dibandingkan dengan jiwa
seorang mukmin. Kendatipun demikian, ada sekte Khawarij yang agak lunak,
yaitu sekte Nadjiyat dan Ibadiyah. Keduanya membedakan antara kafir nikmat
dan kafir agama. Kafir nikmat hanya melakukan dosa dan tidak berterima kasih
kepada Allah. Orang semacam ini, tidak perlu dikucilkan dari masyarakat.
2.
MURJI’AH
a. LATAR BELAKANG KEMUNCULAN
Nama Murji’ah diambil dari kata irja atau arja’a yang bermakna penundaan, penangguhan, danpengharapan. Kata arja’a mengandung arti pula
memberi harapan, yakni memberi harapan kepada pelaku dosa besaruntuk memperoleh
pengampunan dan rahmat Allah. Selain itu, arja’a berarti
pula meletakkan di belakang atau mengemudikan, yaitu rang yang mengwemudikan
amal dari iman. Oleh karena itu Murji’ah,artinya
orang yang menunda penjelasan kedudukan seseorang yang bersengketa, yakni Ali
dan Muawiyah serta pasukannya masing-masing, ke hari kiamat kelak.
Ada beberapa teori yang
berkembang mengenai asal-usul kemunculan Murji’ah. Teori
pertama mengatakan bahwa gagasan irja atau arja dikembangkan oleh sebagian sahabat dengan
tujuan menjamin persatuan dan kesatuan umat Islam ketika terjadi pertikaian
politik dan juga bertujuan untuk menghindari sektarianisme.Murji’ah, baik sebagai kelompok politik maupun
teologis, diperkirakan lahir bersamaan dengan kemunculan Syi’ah dan Khawarij.
Kelompok ini merupakan musuh berat Khawarij.
Teori lain mengatakan bahwa
gagasan irja, yang merupakan basis doktrin Murji’ah, muncul pertama kali sebagai gerakan politik
yang oleh cucu Ali bin Abi Thalib , Al-Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah, sekitar
tahun 695. Watt, penggagas teori ini, menceritakan bahwa setelah 20 tahun
kematian Muawiyah, pada tahun 680, dunia Islam dikoyak oleh pertikaian sipil.
Al-Mukhtar membwa faham Syi’ah ke
Kuffah dari tahun 685 – 687; Ibnu Zubayr mengklaim kekhalifahan di Mekah hingga
yang berada di bawah kekuasaan Islam. Sebagai respon dari keadaan ini, muncul
gagasan irja atau penangguhan ( postponenment ). Gagasan ini pertama kali
digunakan sekitar tahun 695 oleh cucu Ali bin Abi Thalib, Al-Hasan bin Muhammad
Al-Hanafiyah, dalam sebuah surat pendeknya. Dalam surat itu Al-Hasan
menunjukkan sikap politiknya dengan mengatakan, “Kita
mengakui Abu Bakar dan Umar, tetapi menangguhkan keputusan atas persoalan yang
terjadi pada konflik sipil pertama yang melibatkan Usman, Ali, dan Zubyr (
seorang tokoh pembelot ke Mekah ).” Dengan sikap politik ini,
Al-Hasan mencoba menanggulangi perpecahan umat Islam. Ia kemudian mengelak
berdampingan dengan kelompok Syi’ah revolusioner yang
terlampau mengagungkan Ali dan para pengikutnya, serta menjauhkan diri dari
Khawarij yang menolak mengakui kekhalifahan Muawiyah dengan alasan bahwa ia
adalah keturunan si pendosa Usman.
b. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK.
Adapun di bidang teologi,
doktrin irja dikembangkan Murji’ah ketika menanggapi
persoalan-persoalan teologis yang muncul saat itu. Pada perkembangan
berikutnya, persoalan-persoalan yang ditanggapinya menjadi semakin kompleks
sehingga mencakup iman, kufur, dosa besar dan ringan (mortal and venial sains), tauhid, tafsir
l-Qur’an, eskatalogi, pengampunan atas dosa besar, kemaksuman Nabi ( the impeccabality of the Prophet ), hukuman atas
dosa ( punishment of sins), ada yang kafir ( infidel ) di kalangan generasi awal Islam, tobat
( redress of wrongs ), hakikat al-Qur’an, nama dan
sifat Allah, serta ketentuan Tuhan (predestination).
Berkaitan dengan doktrin
teologi Murji’ah, W. Montgomery Watt merincinya sebagai berikut :
1. Penangguhan keputusan terhadap
Ali dan Muawiyah hingga Allah memutuskannya di akhirat kelak.
2. Penangguhan Ali untuk
menduduki ranking keempat dalam peringkat Al-Khalifah Ar-Rasyidun.
3. Pemberian harapan ( giving of hope )terhadap orang muslim yang berdosa
besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
4. Doktrin-doktrin Murji’ah menyerupai pengajaran ( madzhab ) para skeptis dan empiris dari kalangan
Helenis.
Masih berkaitan dengan doktrin
teologi Murji’ah, Harun Nasution menyebutkan empat ajaran
pokoknya, yaitu :
1. Menunda hukuman atas Ali,
Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkannya kepada Allah di hari
kiamat kelak.
2. Menyerahkan keputusan kepada
Allah atas orang muslim yang berdosa besar.
3. Meletakkan ( pentingnya ) iman
daripada amal.
4. Memberikan pengharapan kepada
muslim yang berdosa besar untuk memperoleh ampunan dan rahmat dari Allah.
A.
SEKTE-SEKTE MURJI’AH.
Kemunculan sekte-sekte dalam
kelompok Murji’ah tampaknya dipicu oleh perbedaan pendapat ( bahkan hanya dalam
hal intensitas )di kalangan para pendukung Murji’ah sendiri. Dalam hal ini,
terdapat problem yang cukup mendasar ketika para pengamat mengklasifikasikan
sekte-sekte Murji’ah. Kesulitannya – antara lain – adalah ada beberapa tokoh
aliran pemikiran tertentu yang diklaim oleh seorang pengamat sebagai pengikut
Murji’ah, tetapi tidak diklaim oleh pengamat lain. Tokoh yang dimaksud adalah Washil
bin Atha dari Mu’tazilah dan Abu Hanifah dari Ahlus Sunnah. Oleh karena
itulah, Ash-Syahrastani, seperti dikutip oleh Watt, menyebutkan
sekte-sekte Murji’ah sebagai berikut :
1. a. Murji’ah
– Khawarij.
2. b. Murji’ah
– Qadariyah.
3. c. Murji’ah
– Jabariyah.
4. d. Murji’ah
– Murni.
5. e. Murji’ah
– Sunni. ( tokohnya adalah Abu hanifah ).
Harun Nasution secara garis
besar menglasifikasikan Murji’ah menjadi
dua sekte, yaitu golongan moderatdan
golongan ekstrim. Murji’ah moderat berpendirian bahwa
pendosa besar tetap mungkin, tidak kafir, tidak pula kekal dalam neraka. Mereka
disiksa sebesar dosanya, dan bila diampuni oleh Allah sehingga tidak masuk
neraka sama sekali. Iman adalah pengetahuan tentang Tuhan dan Rasul-Rasul-Nya
serta apa saja yang datang dari-Nya secara keseluruhan namun dalam garis besar.
Iman ini tidak bertmbah dan tidak pula berkurang. Tak ada perbedaan manusia
dalam hal ini. Penggagas pendirian ini adalah Al-Hasan bin Muhammad bin Ali bin
Abi Thalib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits.
Adapun yang termasuk
kelompok ekstrim adalah Al-Jahmiyah, Ash-Shalihiyah,
Al-Yunusiyah, Al-Ubaidiyah, dan Al-Hasaniyah. Pandangan tiap-tiap kelompok itu
dapat dijelaskan seperti berikut.
« Jahmiyah, kelompok Jahm bin Shafwan dan
para pengikutnya, berpandangan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan kemudian
menyatakan kekufurannya secara lisan, tidaklah menjadi kafir karena iman dan
kufur bertempat di dalam hati bukan pada bagian lain pada tubuh manusia.
« Shalihiyah, kelompok Abu-hasan
Ash-Shalihi, berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Tuhan, sedangkan kufur
adalah tidak tahu Tuhan. Salat bukan merupakan ibadah kepada Allah. Yang
disebut ibadah adalah iman kepada-Nya dalam arti mengetahui Tuhan. Begitu pula
zakat, puasa dan haji bukanlah ibadah, melainkan sekedar menggambarkan
kepatuhan.
« Yunusiyah dan Ubaidiyah melontarkan pernyataan bahwa melakukan
perbuatan maksiat atau perbuatan jahat tidaklah merusak iman seseorang. Mati
dalam iman, dosa-dosa dan perbuatan-perbuatan jahat yang dikerjakan tidaklah
merugikan orang yang bersangkutan. Dalam hal ini, Muqatil bin Sulaiman
berpendapat bahwa perbuatan jahat, banyak atau sedikit, tidak merusak iman
seseorang sebagai musyrik ( polithest ).
« Hasaniyah menyebutkan bahwa jika seorang
mengatakan, “Saya tahu Tuhan melarang makan babi, tetapi
saya tidak tahu apakah babi yang diharamkan itu adalah kambing ini, “ maka
orang tersebut tetap mukmin, bukan kafir. Begitu pula orang yang
mengatakan “Saya tahu Tuhan mewajibkan naik haji ke
Ka’bah, tetapi saya tidak tahu apakah Ka’bah itu di India atau tempat lain.”
3.
JABARIYAH
a. Asal Usul Kemunculan
Kata Jabariyah berasal dari
kata jabara, yang mengandung arti memaksa dan
mengharuskannya melakukan sesuatu. Kalau dikatakan, Allah mempunyai sifat al-Jabbar (dalam bentuk mubalaghah), itu artinya
Allah Maha Memaksa. Ungkapan al-insan majbur (bentuk isim maf’ul) mempunyai arti bahwa manusia dipaksa atau
terpaksa. Selanjutnya, kata jabara (bentuk
pertama) setelah ditarik menjadi Jabariyah (dengan
menambah ya nisbah), memiliki arti suatu kelompok atau aliran
(isme).
Dalam sejarah, tercatat bahwa
orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah dikalangan umat Islam
adalah al-Ja’ad ibn Dirham. Pandangan-pandangan ja’ad ini kemudian
disebarluaskan oleh para pengikutnya seperti Salim bin Safwan. Ia
mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia bukan dia yang mengadakan tetapi
Allah sendiri, baik berupa gerakan reflex atau gerak lain yang semacam atau
perbuatan-perbuatan yang kelihatannya dikehendaki atau disengaja, seperti
berbicara, berjalan dan sebagainya.
Mengenai kemunculan
paham al-Jabbar ini, para ahli sejarah pemikiran
mengkajinya melalui pendekatan geokultural bangsa Arab, digambarkan bahwa
kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara memberikan
pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan hidup mereka kepada
alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap-sikap penyerahan diri terhadap
alam. sebenarnya benih-benih al-Jabbar sudah
muncul jauh sebelum kedua tokoh di atas. Benih-benih itu terlihat dalam
peristiwa sejarah berikut ini :
Suatu ketika Nabi menjumpai
sahabatnya yang sedang bertengkar dalam masalah takdir Tuhan. Nabi melarang
mereka memperdebatkan masalah tersebut, agar terhindar dari kekeliruan
penafsiran tentang ayat-ayat Tuhan mengenai takdir.
Khalfiah Umar bin Khattab pernah
menangkap seseorang yang ketahuan mencuri. Ketika diinterogasi, pencuri itu
berkata : tuhan telah menentukan aku mencuri. Mendengar ucapan itu, Umar marah
sekali dan menganggap orang itu telah berdusta kepada Tuhan. Oleh karena itu,
Umar memberikan dua jenis hukuman. Pertama, hukuman potong tngan karena
mencuri, kedua, hukuman dera karena menggunakan dalil takdir Tuhan.
Pada pemerintahan Daulah Bani
Umayyah, pandangan tentang al-Jabbar semakin
mencuat ke permukaan. Abdullah bin Abbas, melalui suratnya memberka reaksi yang
keras kepada penduduk Syiria yang diduga berpaham Jabariyah.
Paparan di atas menjelaskan
bahwa bibit paham al-Jabbar telah muncul sejak
awal periode Islam. Namun, al-Jabbar sebagai
suatu pola pikir atau aliran yang dianut, dipelajari dan dikembangkan, baru
terjadi pada masa pemerintahan Daulah Bani Umayyah, yakni oleh kedua tokoh yang
telah disebutkan di atas.
Berkaitan dengan kemunculan
aliran Jabariyah, ada yang menyatakan bahwa kemunculannya diakibatkan oleh
pengaruh pemikiran asing, yaitu pengaruh agama Yahudi bermazhab qurra dan agama Kristen bermazhab
yacobt. Namun, tanpa pengaruh asing itu, paham al-Jabbar akan muncul juga di kalangan umat Islam.
Di dalam Alquran sendiri terdapat ayat-ayat yang dapat menimbulkan faham ini,
misalnya :
Artinya :
Mereka selamanya tidak percaya
sekiranya Allah tidak menghendaki (Q.S. al-An’am : 111)
Artinya :
Allah menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat (Q.S. al-Shaffat : 96)
Artinya :
Bukanlah engkau yang melontar
ketika melontar (musuh), tapi Allah lah yang melontar mereka (Q.S. al-Anfal : 17)
Ayat-ayat tersebut terkesan
membawa seseorang pada alam pikiran Jabariyah. Mungkin inilah yang menyebabkan
pola pikir Jabariyah masih ada di kalangan umat Islam hingga kini walaupun
anjurannya telah tiada.
b.
Para Pemuka Jabariyah Dan Doktrin-Doktrinnya
Perlu ditegaskan bahwa paham
Jabariyah yang dikemukakan Jahm bin Safwan itu adalah paham Jabariyah yang
ekstrim, dan disebut dengan istilah al-jabariyah al-khalish.
Sementara itu terdapat pula paham Jabariyah yang moderat, seperti diajarkan
oleh Husain Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn Amir, dan diberi istilah
dengan al-jabariyah al-mutawasithah.
Diantara doktrin Jabariyah
ekstrim adalah pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan
atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan itu bukanlah terjadi
atas kehendaknya sendiri, tapi timbul karena qadha dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian.
Diantara pemuka Jabariyah
ekstrim adalah berikut ini :
1. Jahm bin Safwan
Nama lengkapnya adalah Abu
Mahrus Jaham bin Safwan. Ia berasal dari Khurasan, bertempat tinggal di Kufah ;
ia seorang dai yang fasih dan lincah (orator) ; ia menjabat sebagai sekretaris
harits bin Surais, seorang Mawali yang menentang pemerintah Bani Umayah di
Khurasan. Ia ditawan kemudian dibunuh secara politis tanpa ada kaitannya dengan
agama.
Sebagai seorang penganut dan
penyebar paham Jabariyah, banyak usaha yang dilakukan Jaham yang tersebar ke
berbagai tempat, seperti ke Tirmidz dan Balk. Pendapat Jahm yang berkaitan
dengan persoalan teologi adalah sebagai berikut :
« Manusia tidak mampu untuk
berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan
tidak mempunyai pilihan.
« Surga dan neraka tidak kekal.
Tidak ada yang kekal selain Tuhan
« Iman adalah ma’rifat atau
membenarkan dengan hati. Dalam hal ini pendapatnya sama dengan konsep iman yang
diajukan kaum Murji’ah.
« Kalam Tuhan adalah makhluk,
Allah Maha Suci dari segala sifat dan keserupaan dengan manusia seperti
berbicara, mendengar dan melihat. Begitu pula Tuhan tidak dapat dilihat dengan
indera mata di Akhirat kelak.
2.
Sa’ad bin Dirham
Al-Sa’ad adalah seorang
maulana Bani Hakim, tinggal di Damaskus. Ia dibesarkan di dalam lingkungan
orang kristen yang senang membicarakan teologi. Semula ia dipercaya untuk
mengajar di lingkungan pemerintah Bani Umayah, tetapi setelah tampak
pikiran-pikirannya yang kontroversial, Bani Umayah menolaknya. Kemudian
al-Sa’ad lari ke Kufah dan di sana ia bertemu dengan Jahm, serta mentransfer
pikirannya kepada Jahm untuk dikembangkan dan disebarluaskan. Doktrin pokok
Sa’ad secara umum sama dengan pikiran Jahm.
Sedangkan Jabariyah moderat
mengatakan bahwa Tuhan memang menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan
jahat maupun baik, tetapi manusia mempunyai bagian di dalamnya. Tenaga yang
diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya.
Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisitin). Menurut paham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tetapi manusia
memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan, yang termasuk tokoh Jabariyah
moderat ini adalah berikut ini:
1) al-Najjar
Nama lengkapnya adalah Husain
bin Muhammad al-Najjar (w. 230 H). para pengikutnya disebut al-Najjariyahatau al-Husainiyah.
Diantara pendapat-pandapatnya adalah
« Tuhan menciptakan segala
perbuatan manusia, tapi manusia mengambil bagian atau peran dalam mewujudkan
perbuatan-perbuatan itu.
« Tuhan tidak dapat dilihat di
akhirat, akan tetapi Tuhan dapat saja memindahkan potensi hati (ma’rifat) pada
mata sehingga manusia dapat melihat Tuhan.
2) al-Dhirar
Nama lengkapnya adalah Dhirar
bin Amr, pendapatnya tentang perbuatan manusia sama dengan Husain al-Najjar.
Manusia mempunyai bagian dalam mewujudkan perbuatannya dan tidak semata-mata
dipaksa dalam melakukan perbuatannya. Secara tegas, dia menyatakan bahwa
suatu perbuatan dapat ditimbulkan oleh dua pelaku secara bersamaan, artinya
perbuatan manusia tidak hanya ditimbulkan oleh Tuhan, tetapi juga oleh manusia
itu sendiri. Manusia turut berperan dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya.
Mengenai ru’yat Tuhan di
akhirat, Dhirar mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di Akhirat melalui indera
keenam.
4.
QADARIYAH
1. Asal Usul Kemunculan Qadariyah
Qadariyah mula-mula timbul
sekitar rahun 70 H/689 M, di pimpin oleh Ma’bad al-Juhani al-Bisri dan Sa’ad
bin Dirham, pada masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (685-705 M)
dan merupakan penentang kebijaksanaan politik Bani Umayyah yang dianggapnya
kejam.
Sedangkan menurut Ahmad Amin,
ada ahli teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama sekali dimunculkan
oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqy. Sementara itu Ibnu Nabatah
sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Amin berpendapat bahwa paham Qadariyah itu
pertama kali muncul dari seseorang asal Irak yang menganut kristen dan kemudian
masuk Islam, tetapi kemudian masuk kristen lagi. Dari tokoh inilah Ma’bad
al-Juhani dan ghailan al-Dimasqy menerima paham Qadariyah. Ghailan
al-Dimasqy adalah penduduk kota Damaskus, ayahnya seorang yang pernah bekerja
pada Khalifah Utsman bin Affan. Dia dikenal sebagai seorang alim,
mengutamakan hidup zuhud dan takwa serta giat berdakwah mengajak orang mukmin
untuk berpegang pada akidah yang benar : Allah Maha Esa dan Maha Adil.
Qadariyah berasal dari bahasa
Arab, yaitu dari kata qadara yang
artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi,
Qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak
diintervensi oleh Tuhan. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah
pencipta bagi segala perbuatannya; ia dapat berbuat sesuatu atau
meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Sedangkan sebagai aliran dalam
ilmu kalam, Qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang
memberikan penekanan terhedap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan
perbuatan-perbuatannya. Bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa
tunduk kepada qadar atau qada Tuhan.
Nama atau gelar Qadariyah yang
diletakkan kepada golongan ini adalah pemberian musuh-musuhnya yang tidak dapat
menerima paham yang dibawanya dan juga dikaitakan dengan suatu hadis Nabi
:
القدرية مجوس هذه الأمة
Artinya :
Kaum Qadariyah adalah
majusinya umat ini.
2. DOKTRIN-DOKTRIN POKOK
Dalam ajarannya, aliran Qadariyah
sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan
perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya
sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu. Dalam menentukan
keputusan yang menyangkut perbutannya sendiri, manusialah yang menentukan,
tanpa ada campur tangan Tuhan.
Selanjutnya Qadariyah,
sebagaimana dikemukakan Ghailan berpendapat bahwa manusia berkuasa untuk
melakukan perbuatan-perbuatan atas kehendak dan kekuasaannya sendiri, dan
manusia pula yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan jahat atas
kemampuan dan dayanya sendiri.
Dalam Kitab al-Milal wa al-Nihal, pembahasan masalah Qadariyah
disatukan dengan pembahasan tentang doktrin-doktrin Mu’tazilah, sehingga
perbedaan antara kedua aliran ini kurang begitu jelas. Ahmad Amin juga
menjelaskan bahwa doktrin qadar lebih luas dikupas oleh kalangan Mu’tazilah,
sebab paham ini juga menjadikan salah satu doktrin Mu’tazilah. Akibatnya,
seringkali orang menamakan Qadariyah dengan Mu’tazilah karena kedua aliran ini
sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tindakan
tanpa campur tangan Tuhan.
Faham takdir dalam pandangan
Qadariyah bukanlah dalam pengertian bahwa nasib manusia telah ditentukan
terlebih dahulu (azali). Dalam paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan
Allah yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya sejak azali,
yaitu hukum yang dalam istilah Alquran adalah sunnatullah.
Kaum Qadariyah berpendapat
bahwatidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia
kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan
dalam doktrin Islam. Banyak ayat Alquran yang mendukung pendapat ini, misalnya
surat al-Kahfi (18) : 29.
Artinya :
Katakanlah, kebenaran dari
Tuhanmu, barang siapa yang mau, berimanlah dia, dan barang siapa yang ingin
kafir, biarlah ia kafir.
Dalam surat Ali Imran (3) :165, disebutkan :
Artinya :
Adakah patut, ketika kamu
ditimpa musibah (pada perang uhud), padahal telah mendapat kemenangan dua kali
(pada perang badar), lalu kamu berkata : dari manakah bahaya ini ? katakanlah,
sebabnya dari kesalahan kamu sendiri.
Dalam surat al-Ra’du (13) : 11, disebutkan :
Artinya :
Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri.
Dalam surat an-Nisa (4) : 111, disebutkan :
`
Artinya :
Dan barang siapa melakukan
suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.
5.
MU’TAZILAH
a.
ASAL-USUL KEMUNCULAN
Secara harfiah, kata mu’tazilah berasal dari kata I’tazala yang artinya berpisah atau memisahkan
diri, menjauh atau menjauhkan diri. Secara teknis istilah mu’tazilah
menuju kepada 2 golongan, yaitu :
«
Muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini
tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersifat lunak dalam
menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama
Mu’awiyah, Aisyah dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula
disebut kaumMu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari
pertikaian masalah khilafah.
« Muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang dikalangan khawarij dan murji’ah akibat
adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat
dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada
orang yang berbuat dosa besar.
1) AL-USHUL AL-KHAMSAH : 5 AJARAN
DASAR DOKTRIN MU’TAZILAH
«
At-Tauhid
Untuk memurnikan keesaan
Tuhan. Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik
Tuhan dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Dengan demikian pengetahuan
dan kekuasaan Tuhan adalah Tuhan sendiri, yaitu dzat dan esensi Tuhan, bukan
sifat yang menempel pada dzat-Nya.
« Al-‘Adl
Tuhan Maha Adil. Tuhan
dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik dan terbaik dan bukan yang
tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak mengingkari janji-Nya. Dengan
demikian Tuhan terikat dengan janji-Nya. Orang beriman akan masuk surga dan orang
kafir akan masuk neraka.
« Al-Wa’d wa al-Wa’id
Perbuatan Tuhan terikat dan
dibatasi oleh janji-Nya sendiri, yaitu memberi pahal surga bagi yang berbuat
baik dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang berbuat durhaka.
«
Al-Manzilah bain Al-Manzilatain
Pokok ajaran ini adalah bahwa
mukmin yang melakukan dosa besar dan belum tobat bukan lagi mukmin atau kafir,
tetapi fasik.
«
Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy An Munkar
Menyuruh kebajikan dan
melarang kemungkaran. Ajaran ini menekankan keberpihakan kepada kebenaran dan
kebaikan. Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan
keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik.
6.
SYI’AH
Syi’ah dilihat dari segi
bahasa berarti pengikut, pendukung atau kelompok. Sedangkan secara
terminologis adalah sebagian kaum muslimin yang dalam bidang spiritual dan
keagamaannya merujuk pada keturunan Nabi (ahlul-Bait). Point penting dalam
syi’ah adalah pernyataan bahwa petunjuk agama itu bersumber dari ahlul bait.
Mereka menolak petunjuk-petunjuk dari sahabat yang bukan ahlul bait atau
pengikutnya. jaran syi’ah berawalan pada sebutan untuk pertama kalinya kepada
pengikut Ali (Syi’ah Ali), pemimpin pertama ahlul bait pada masa Rasulullah SAW
hidup. Kejadian-kejadian pada awal munculnya Islam dan pertumbuhan Islam
selanjutnya selama 23 tahun masa kenabian.
Kaum syi’ah ialah orang-orang
yang menyokong Ali bin Abi Thalib ra. Ali telah mempunyai pendukung-pendukung
sejak permulaan sesudah wafat Rasulullah SAW, di antaranya : Jabir Ibnu
Abdillah, Huzaifah Ibnu Yaman, Salman Al Farisi, Abu Zar Al Gifari dan lainnya.
Inti ajaran syi’ah adalah
berkisar masalah khalifah. Jadi masalah politik yang akhirnya berkembang dan
bercampur dengan masalah-masalah agama.
1. ASAL-USUL KEMUNCULAN SYI’AH
Mengenai kemunculan syi’ah dalam
sejarah terdapat dikalangan para ahli. Syi’ah mulai muncul pada saat akhir
pemerintahan Utsman bin Affan kemudian tumbuh dan berkembang pada masa
pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Adapun dikalangan tokoh-tokoh syi’ah sendiri terdapat
kekacauan pandangan mengenai awal kemunculan syi’ah ini seperti : Anaubkhati,
tokoh Syi’ah berpendapat bahwa golongan syi’ah itu baru ada setelah Nabi wafat.
Sedangkan Ibnu Nadir berpandangan bahwa golongan syi’ah tidak terbentuk setelah
perang jamal.
Ada pula yang mengatakan bahwa
nama “syi’ah”, baru muncul / terkenal ketika perang siffin antara Ali ra dengan
Mu’awiyah dan masih banyak pendapat lainnya.
Kalangan syi’ah sendiri berpendapat bahwa kemunculan
syi’ah berkaitan dengan masalah pengganti Nabi SAW, mereka menolak dengan tegas
pemerintahan Abu Bakar, Umar dan Utsman dan menganggap Ali lah yang lebih
berhak menjadi khalifah. Bukti utama tentang sahaya Ali sebagai pengurus Nabi
adalah peristiwa Ghadir Khumm.
Syi’ah mendapat pengikut besar
pada masa dinasti Amawiyah (Yazid bin Muawiyah) di masa pemerintahan Yazid cucu
Rasulullah Husien dipenggal kepalanyaoleh Ibnu Ziyad, setelah dipenggal
kemudian kepala Husien dibawa ke hadapan Yazid dan dengan tongkat Yazid memukul
kepala cucu Rasulullah SAW yang pada waktu kecilnya sering dicium Nabi.
1. SEKTE-SEKTE SYI’AH
a) Syi’ah Imamiyah atau syi’ah
Itsna ‘Asyariyah
Dinamakan syi’ah Imamiyah
karena yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam (dalam arti
khalifah). Syi’ah Imamiyah juga terkenal sebagai “syi’ah Itsna ‘Asyariah, sebabnya
karena mempunyai dua belas Imam saja. Dua belas yang mereka yakini ialah :
1. Al-Murtadha, lahir tahun 23
SH, wafat tahun 40 H (Abdul Hasan Ali bin Abi Thalib).
2. Azzaky, lahir tahun 2 H, wafat
tahun 50 H (Abu Muhammad Hasan bin Ali).
3. Sayyidusy Syuhada, lahir tahun
3 H, wafat tahun 61 H.
4. Zainal Abidin, lahir tahun 38
H, wafat 95 H (Abu Muhammad Ali bin Husien)
5. Al-Baqir, lahir tahun 57 H,
wafat 114 H (Abu Ja’far Muhammad bin Ali).
6. Ash-Shadiq, lahir tahun 83 H,
wafat 147 H (Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad).
7. Al-Kazhim, lahir tahun 128 H,
wafat tahun 183 H (Abu Ibrahim Musa bin Ja’far).
8. Ar-Ridha, lahir tahun 148 H,
wafat tahun 203 H (Abu Hasan Ali bin Musa)
9. Al- Jawwad, lahir tahun 195 H,
wafat tahun 220 H (Abu Ja’far Muhammad bin Ali).
10. Al-Hadi, lahir tahun 212 H,
wafat tahun 254 H (Abdul Hasan Ali bin Muhammad)
11. Al-Askari, lahir tahun 232 H,
wafat tahun 260 H (Abu Muhammad bin Ali)
12. Al-Mahdi, lahir tahun 256 H
(Abul Qasim Muhammad bin Hasan).
b) Syi’ah Zaidiyah
Disebut Syi’ah Zaidiyah karena
sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai Imam yang kelima, putra Imam keempat,
Zainal Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syi’ah lain yang mengakui
Muhammad Baqir, putra Zainal Abidin yang lain, sebagai Imam kelima. Dari nama
Zaid bin Ali inilah, Zaidiyah diambil.
Oleh karena itu, kelompk
Syi’ah Zaidiyah tidak menuduh Abu Bakar dan Umar sebagai perampas hak
kekhalifahan yang seyogyanya diperuntukan bagi Ali. Jadi, kekhalifahan Abu
Bakar dan Umar adalah sah menurut mereka meskipun yang lebih berhak adalah Ali.
Dalam masalah akidah, mazhab
Zaidiyah lebih condong kepada Mu’tazilah. Imam Zaid tokoh pendiri mazhab ini
(Zaidiyah) adalah murid dari Washil bin atha’ yang bapak moyangnya Mu’tazilah.
Dalam masalah fiqh mereka lebih mirip dengan mazhab Syafi’i.
c) Syi’ah Isma’iliyah
Isma’iliyyah adalah bagian
dari aliran Syi’ah Imamiyyah. Dalam sejarah Islam mereka tercatat pernah
berjaya dengan suatu kekuasaan yang besar, yaitu Dinasti Fatimiyyah di Mesir
dan Syam. Nama aliran ini dinisbahkan kepada Isma’il bin Ja’far al-Shadiq. Ia adalah
imam keenam dalam aliran Imamiyyah dua belas. Imam berikutnya adalah Musa
Al-Kazim sebagai imam ketujuh. Namun aliran Isma’iliyyah menetapkan bahwa imam
ketujuh adalah anaknya yang bernama Isma’il. Mereka mengatakan bahwa hal itu
berdasarkan nash dari ayahnya, Ja’far tetapi Isma’il wafat mendahului ayahnya.
Walaupun Isma’il telah wafat, mereka tetap menerapkan nash itu, sehingga
keimaman terus berlangsung setelah Isma’il wafat. Prinsip mereka ialah
mengamalkan nash itu lebih baik daripada meninggalkannya. Hal itu tidak
mengherankan karena mereka memandang ucapan-ucapan seorang imam sepenuhnya sama
dengan nash-nash syara’ yang wajib dilaksanakan dan tidak boleh ditinggalkan.
Hak keimaman melalui Isma’il
berpindah kepada anaknya Muhammad al-Maktum. Sejak Muhammad mulailah ada
doktrin bahwa para imam tersembunyi atau tertutup, karena mereka menetapkan
bahwa seorang imam dapat saja tersembunyi dan tetap wajib dipatuhi.
Tersembunyinya seorang imam tidak menghalanginya untuk menjadi imam.
Setelah Muhammad al-Maktum
yang menajdi imam berturut-turut ialah Muhammad al-Habib ibn Muhammad al-Maktum
dan anak al-Habib, ‘Abdullah al-Mahdi yang kemudian menampakkan dirinya di
Afrika Utara dan kerajaan Maghrib. Daulah Fathimiyyah di Mesir timbul setelah
Abdullah al-Mahdi muncul.
Karena menganut paham Syi’ah,
para pengikutnya mengalami penderitaan dan diburu sehingga melarikan diri dari
Irak ke Persia, Khurasan dan kawsan-kawasan Islam lainnya sepertin India dan
Turkistan. Di daerah-daerah itu paham aliran ini bercampur dengan sebagian
kepercayaan Persia kuno dan pemikiran filsafat India. Karena dipengaruhi paham
dan pemikiran-pemikiran itu, banyak penganut aliran Isma’iliyyah yang
menyimpang sehingga mereka banyak mengikuti hawa nafsunya. Itulah sebabnya
muncul kelompok-kelompok baru yang membawa nama aliran Isma’iliyyah yang
sebagiannya masih dalam ruang lingkup pemahaman ajaran Islam, tetapi sebagian
lagi menyimpang karena pahamnya telah tercemar dan tidak sesuai dengan
prinsip-prinsip pokok Islam.
Aliran Isma’iliyyah dinamai
juga dengan al-Bathiniyyah (al-Bathiyyun) antara lain karena mereka selalu
mengatakan bahwa imam mereka tesrembunyi, dan selalu tersembunyi sampai
munculnya kerajaan mereka di Maghrib yang kemudian pindah ke Mesir. Sebab lain
ialah karena mereka mengatakan bahwa syari’at itu ada yang lahir dan ada yang
bathin. Masyarakat Islam hanya mengetahui yang lahir, sedangkan imam mengetahui
yang bathin, malah yang lebih mendalam lagi dari itu. Dengan alasan itu mereka
menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan ta’wil yang sangat jauh. Pendapat
mereka dalam masalah ilmu lahir dan ilmu bathin ini sama dengan pendapat aliran
Imamiyyah dua belas. Sebagian aliran tasawuf juga mengadopsi paham ini. Pendapat-pendapat
yang dianut oleh kalangan aliran Isma’iliyyah yang moderat didasarkabn atas
tiga teori yang sebagian besar dianut juga oleh aliran Isma’iliyyah dua belas,
yaitu :
«
Limpahan cahaya Illahi (al-Faidh al-Illahi) dalam
bentuk pengetahuan yang dilimpahkan Allah kepada para Imam.
« Seorang imam tidak mesti
menampakkan diri dan dikenal, tetapi dapat tersembunyi dan meskipun begitu ia
wajib dipatuhi. Ia adalah al-Mahdi yang akan memberi petunjuk kepada manusia.
«
Seorang imam tidak bertanggung jawab kepada siapa pun,
dan siapa pun tidak boleh mempersalahkannya ketika ia melakukan suatu
perbuatan.
7.
KHALAF (AL-ASY’ARI DAN AL-MATURIDI)
Namanya Abdul Hasan Ali bin
Isma’il Al-Asy’ary keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ary salah seorang perantara
dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M
dan wafat pada tahun 324 H / 935 M. Pada waktu kecilnya ia berguru pada seorang
Mu’tazilah terkenal, yaitu Al-Jubba’i, mempelajari ajaran-ajaran Mu’tazilah dan
mendalaminya. Aliran ini diikutinya terus sampai berusia 40 tahun dan tidak
sedikit dari hidupnya untuk mengarang buku-buku kemu’tazilahan.
Ketika mencapai usia 40 tahun
ia bersembunyi di rumahnya selama 15 hari, kemudian eprgi ke Mesjid Basrah. Di
depan orang banyak ia menyatakan bahwa ia mula-mula mengatakan Qur’an adalah
makhluk: Tuhan tidak dapat dilihat matakepala; perbuatan buruk manusia sendiri
yang membuatnya. (semuanya pendapat aliran Mu’tazilah). Kemudian ia mengatakan:
“Saya tidak lagi memegangi pendapat-pendapat tersebut; saya harus menolak
paham-paham orang Mu’tazilah dan menunjukkan keburukan-keburukan dan
kelemahan-kelemahannya”.
Al-Ay’ari meninggalkan aliran
Mu’tazilah selain karena merasa tidak puas terhadap konsepsi aliran tersebut
dalam soal-soal al-Ashlah (keharusan mengerjakan yang terbaik bagi Tuhan), juga
karena ia melihat ada perpecahan di kalangan kaum Muslimin yang bisa melemahkan
mereka, kalau tidak segera diakhiri. Sebagai seorang muslim yang gairat akan
kebutuhan kaum Muslimin, ia sangat mengkhawatirkan kalau Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi akan menjadi korban faham-faham aliran Mu’tazilah yang
menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan, karena didasarkan atas pemujaan
kekuatan akal pikiran, sebagaimana dikhawatirkan juga akan menjadi korban sikap
ahli hadits anthropomorphist yang hanya memegang lahir (bunyi) nas-nas agama
dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam ke lembah kebekuan yang
tidak dapat dibenarkan. Melihat keadaan demikian, maka Asy’ari dan golongan
textualist dan ternyata jalan tengah tersebut dapat diterima oleh mayoritas
kaum Muslimin.
1. Karya-Karyanya
Ia bukan sekedar mengambil
jalan tenagh tersebut di atas tetapi juga ditulisnya dalam kitab-kitabnya agar
bisa dibaca orang banyak. Ia meninggalkan karangan-karangan kurang lebih
berjumlah 90 buah dalam berbagai lapangan. Ia menolak pikiran-pikiran Aristoteles,
golongan materialist, anthropomorphist, Khawarij dan golongan-golongan Islam
lain, akan tetapi sebagian kegiatannya ditujukan untuk menghadapi orang-orang
Mu’tazilah, seperti Jubba’i, Abil Huzail dan lain-lain, sebagaimana ditujukan
terhadap dirinya sendiri sewaktu ia masih menjadi pengikut Mu’tazilah.
Kitab-kitabnya yang terkenal ada 3, yaitu :
1) Maqalat al-Islamiyah
(Pendapat-Pendapat golongan-golongan Islam)
Kitab ini adalah kitab yang
pertama kali dikarang tentang kepercayaan-kepercayaan golongan Islam, dan juga
merupakan sumber terpenting karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Kitab
tersebut dibagi 3 :
« Berisi pendapat bermacam-macam
golongan Islam
« Tantang pendirian ahli hadits
dan sunnah
« Tentang bermacam-macam
persoalan ilmu kalam
2) al-Ibanah an Ushulud
Diniyah (Keterangan Tentang Dasar-Dasar Agama)
Kitab ini berisi uraian
tentang kepercayaan ahli Sunnah dan dimulainya dengan memuji Ahmad bin Hanbal
dan menyebutkan kebaikan-kebaikannya. Uraian-uraian kitab ini tidak tersusun
rapi, meskipun menyangkut persoalan-persoalan yang penting dan banyak sekali.
3) al-Luma (Sorotan)
Kitab ini dimaksudkan untuk
membantah lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu kalam.
1. Corak Pemikiran dan
Pendapatnya
Al-Ay’ari sebagai orang yang
pernah menganut paham Mu’tazilah, tidak dapat menjauhkan diri dari pemakaian
akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang dengan kerasnya mereka yang
mengatakan bahwa pemakaian akal pikiran dalam soal-soal agama atau membahas
soal-soal yang tidak pernah disinggung-singgung oleh Rasul merupakan suatu
kesalahan. Sahabat-sahabat Nabi sendiri, sesudah wafat beliau, banyak
membicarakan soal-soal baru dan meskipun demikian mereka tidak disebut
orang-orang yang sesat.
Ia menentang keras orang yang
berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam (Thelogy Islam) dan argumentasi
pikiran, keberatan mana tidak ada dasarnya dalam Qur’an maupun hadits.
Ia juga mengingkari orang yang
berlebih-lebihan menghargai akal pikiran yaitu aliran Mu’tazilah. Karena aliran
ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.
Dengan demikian jelaslah bahwa
kedudukan Imam Al-Asy’ari seperti yang dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya
sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi
Qur’an dan Hadits dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping
menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memperkuat
nas-nas tersebut.
Ada beberapa pendapat Al-Asy’ari, antara lain :
1) Sifat
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal
sifat terletak di tengah-tengah antara aliran Mu’tazilah di satu pihak dan
aliran Hasywiyah dan Mujassimah di lain pihak. Aliran Mu’tazilah tidak mengakui
sifat-sifat wujud, qidam, baqa, dan wahdaniyah (Keesaan). Sifat zat lain,
seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain hanya zat Tuhan sendiri. Golongan
Hasywiyah dan Mujassimah mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat
makhluk.
Al-Asy’ari dalam pada itu
mengakui sifat-sifat Tuhan yang tersebut sesuai dengan Zat Tuhan sendiri, dan
sama sekali tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Tuhan mendengar, tetapi tidak
seperti kita mendengar dan seterusnya.
2)
Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Menurut aliran Asy’ariyah
faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (as-shalah wa
al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima karena
bertentangan dengan paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini
ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat
baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran Asy’ariyah tidak menerima
paham Tuhan mempunyai kewajiban.
Karena berpendapat pada
kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban
apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima paham pemberian beban di luar kemampuan
manusia. Al-Asy’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam al-Luma bahwa Tuhan
dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia.
3)
Melihat Tuhan pada hari Kiamat
Menurut aliran Mu’tazilah
Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan dengan demikian, mereka
menawilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru’yat, di samping menolak
hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat, karena tingkatan hadits itu menurut
mereka adalah Ahad.
Menurut golongan Musyabbihah
Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula. Dengan
menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-Asy’ari mengatakan
bahwa Tuhan dapat dilihat, tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula
pada arah tertentu.
Tuhan dapat dilihat di
akhirat, dengan alasan-alasan yang dikemukakannya ialah bahwa sifat-sifat yang
tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada
arti diciptakannya Tuhan. Sifat dapatnya Tuhan dilihat tidak membawa kepada hal
ini; karena apa yang dapat dilihat tidak mesti mengandung arti bahwa ia mesti
bersifat diciptakan. Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat, itu
tidak mesti berarti Tuhan harus ebrsifat diciptakan.
4) Dosa besar
Terhadap pelaku dosa besar,
agaknya Al-Asy’ari sebagai wakil ahl As-Sunnah tidak mengafirkan orang-orang
yang sujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar seperti berzina dan
mencuri. Menurutnya mereka masih tetap orang yang beriman dengan keimanan yang
mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu
dilakukannya dengan anggapan dibolehkan (halal) dan tidak meyakini
keharamannya, ia dipandang telah kafir.
Adapun balasan diakhirat kelak
bagi pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka
menurut Al-Asy’ari hal itu ebrgantung kepada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak
Mutlak. Tuhan dapat saja mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat
syafa’at dari Nabi Muhammad SAW sehingga terbebas dari siksa neraka atau
kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai dengan ukuran dosa
yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka seperti
orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan
dimasukkan ke dalam surga.
Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa Asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan Murji’ah, khususnya dalam
pernyataan yang tidak mengafirkan para pelaku dosa besar.
5) Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan
Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam memandang
makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengharuskan
Allah berbuat adil sehingga Dia harus menyiksa orang yang salah dan memberi
pahala bagi orang yang baik.
Menurutnya, Allah tidak
memiliki keharusan apapun karena ia adalah Penguasa Mutlak. Dengan demikian,
jelaslah bahwa Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak. Aliran
Asy’ari seterusnya menentang faham keadilan yang dibawa Mu’tazilah. Dengan
demikian ia juga tidak setuju dengan ajaran Mu’tazilah tentang al wa’d wa al-wa’id.
1. Perkembangan Aliran Asy’ariyah
Pendirian Al-Asy’ari tersebut
di atas merupakan tali penghubung antara 2 aliran alam fikiran Islam, yaitu
aliran lama (textualist) dan aliran baru (rasionalist). Akan tetapai sesudah
wafatnya, aliran Asy’ariyah mengalami perobahan yang cepat. Kalau ada permulaan
berdirinya kedudukannya hanya sebagai penghubung antara kedua aliran tersebut,
maka pada akhirnya aliran Asy’ariyah lebih condong kepada segi akal fikiran
semata-mata dan memberinya tempat yang lebih luas daripada nas-nas itu sendiri.
Mereka sudah berani mengeluarkan keputusan bahwa akal menjadi dasar naqal (nas) karena dengan
akallah kita menetapkan adanya Tuhan, pencipta alam dan Yang Maha Kuasa.
Pembatalan akal fikiran dengan nas berati pembatalan dasar (pokok) dengan
cabangnya yang berakibat pula pembatalan pokok dan cabangnya sama sekali.
Karena sikap tersebut, maka
Ahlus Sunnah tidak dapat menrima golongan Asy’ariyah, bahkan memusuhinya, sebab
dianggap sesat (bid’ah). Kegiatan mereka sesudah adanya permusuhan ini menjadi
berkurang, sehingga datang Nizamul Muluk (wafat 485 H / 1092 M), seorang
menteri Saljuk, yang mendirikan 2 sekolah terkenal yang namanya, yaitu
Nizamiyyah di Nizabur dan Baghdad, di mana hanya aliran Asy’ariyah saja yang
boleh diajarkan. Sejak itu aliran Asy’ariyah menjadi aliran resmi negara, dan
golongan Asy’ariyah menjadi golongan Ahlus Sunnah.
1. Tokoh-Tokoh Aliran Asy’ariyah
Suatu utama bagi kemajuan aliran Asy’ariyah, ialah
karena aliran ini mempunyai tokoh-tokoh yang kenamaan, seperti yang telah
disinggung di atas yang mengkonstruksikan ajaran-ajarannya atas dasar filsafat
metafisika. Tokoh-tokoh tersebut antara lain :
1) Al-Baqillani (wafat
403 H)
2) Ibnu faurak (wafat
406 H)
3) Ibnu ishak
al-Isfaraini (wafat 418 H)
4) Abdul Kahir
al-Bagdadi (wafat 429 H)
5) Imam al-Haramain
al-Juwaini (wafat 478 H)
6) Abdul Mudzaffar
al-Isfaraini (wafat 478 H)
7) Al-Ghazali (wafat 505
H)
8) Ibnu Tumart (wafat
524 H)
9) As-Syihristani (wafat
548 H)
10) Ar-Razi (1149 – 1209 H)
11) Al-Iji (wafat 756 H / 1359 M)
12) As-Sanusi (wafat 895
H).
8.
AL-MATURIDI
A.
Biografi Al-Maturidi
Abu Manshur Al-Maturidi
dilahirkan di Maturid, sebuah kota kecil di daerah Samarkand wilayah
Transoxiana di Asia Tengah daerah yang sekarang disebut Uzbekistan. Ia
dieprkirakan lahir sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah. Ia wafat pada tahun
333 H / 944 M.
Gurunya dalam bidang fiqih dan
teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-Balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidi hidup pada masa khalifah
Al-Mutawakkil yang memerintah tahun 232 – 274 H / 847 – 861 M.
Karir pendidikan Al-Maturidi
lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi daripada fiqih. Ini
dilalukan untuk memperkuat pengetahuan dalam menghadapi faham-faham teologi
yang banyak berkembang pada masyarakat Islam, yang dipandangnya tidak sesuai
dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara. Pemikiran-pemikirannya banyak
dituangkan dalam bentuk karya tulis.
Maturidy semasa hidupnya dengan Asy’ari , hanya dia
hidup di Samarkand sedangkan Asy’ari hidup di Basrah (Iraq). Maturidy adalah
pengikut mazhab Hanafy.
Al-Maturidi mendasarkan
pikiran-pikirannya dalam soal-soal keprcayaan kepada pikiranpikiran Abu Hanifah
yang tercantum dalam kitabnya “al-Fiqh al-Akbar” dan “al-Fiqh al-Absat” dan
memberikan ulasan-ulasannya terhadap kedua kitab tersebut. Al-Maturidy
meninggalkan karangan-karangan yang banyak dan sebagian besarnya dalam lapangan
ilmu tauhid.
1. Karya-Karyanya
Di antara karya-karya Maturidi adalah :
1) Kitab Tauhid
2) Ta’wil Qur’an
3) Makhaz Asy’Syara’i
4) Al-Jadl
5) Ushul fi Ashul ad-Din
6) Maqalat fi Ahkam Radd
Awa’il Al-Abdillah li Al-Ka’bi
7) Radd al-Ushul
al-Khamisah li Abu Muhammad al-Bahili
8) Radd al-Imamah li
Al-Ba’ad Ar-Rawafid
9) Kitab Radd ‘ala
Al-Qaramatah.
10) Risalah fi Al-Aqaid
11) Syarh Fiqh al-Akbar
1. Ajaran-Ajaran Teologi
Al-Maturidi
1) Akal dan wahyu
Dalam pemikirannya Al-Maturidi
mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal, namun porsi untuk akal lebih banyak.
Menurut al-Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut
sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan
akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanan kepada Allah SWT.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada 3
macam yaitu :
z Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui kebaikan sesuatu itu
z Akal dengan sendirinya hanya
mengetahui keburukan sesuatu itu
z Akal tidak mengetahui kebaikan
dan keburukan sesuatu kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
2) Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan
manusia adalah ciptaan Tuhan karena seagla sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya dapat dilaksanakannya.
3) Kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan
Qudrat Tuhan tidak
sewenang-wenang (absolut) tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung
sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.
4) Sifat Tuhan
Tuhan mempunyai sifat-sifat
seperti sama’, bashar dan sebagainya. Pengertian al-Maturidi tentang sifat
Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari. Al-Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai
sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri. Sedangkan
Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan
bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah dzat tanpa
terpisah.
5) Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa
manusia dapat melihat Tuhan kelak di akhirat dengan mata, karena Tuhan
mempunyai wujud walaupun Ia immaterial.
6) Kalam Tuhan
Menurut Maturidi, Mu’tazilah
memandang Al-Qur’an sebagai yang tersusun dari huruf-huruf dan kata-kata,
sedangkan Asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut
Mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari dzat-Nya. Al-Qur’an
sebagai sabda Tuhan bukan sifat, tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
tidak bersifat kekal. Pendapat ini diterima al-Maturidi, hanya saja Al-Maturidi
lebih suka menggunakan istilah hadits sebagai pengganti makhluk untuk sebutan
Al-Qur’an. Dalam konteks ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki kesamaan dengan
pendapat al-Maturidi, karena yang dimaksud Al-Asy’ari dengan sabda adalah makna
abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut al-Maturidi dan itu memang sifat
kekal Tuhan.
7) Pengutusan Rasul
Menurut al-Maturidi akal
memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban
tersebut. Jadi pengutusan Rasul ebrfungsi sebagai sumber informasi. Pandangan
al-Maturidi ini tidak jauh berbeda dengan pandangan Mu’tazilah bahwa pengutusan
Rasul itu kewajiban Tuhan.
8) Pelaku dosa besar
Orang yang berdosa besar tidak
kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal
ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memebrikan balasan manusia sesuai
dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah untuk orang-orang
musyrik .
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Ilmu Kalam adalah Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu
keislaman yang banyak mengedepaankan pembicaraan tentang persoalan persoalan
kalam Tuhan
Aliran-aliran Ilmu Kalam :
Syiah, Khawarij, Murji’ah, Jabariyah dan Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah,
maturidiyah.
Khawarij adalah
suatu sekte / aliran pengikut Ali bin Abi Thalib yang keluar meninggalkan
barisan karena ketidaksepakatan terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase ( tahkim ), dalam Perang Siffin pada tahun 37 H / 648 M, dengan
kelompok bughat ( pemberontak ) Muawiyah bin Abi Sufyan
perihal persengketaan khilafah.
loading...
No comments:
Post a Comment