BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Penerapan
prinsip Good Corporate Governance (GCG) di berbagai perusahaan di Indonesia
menunjukkan perkembangan menggembirakan. Timbulnya kesadaran untuk menerapkan
prinsip Good Corporate Governance (itu tidak terlepas dari tuntutan
perekonomian modern yang mengharuskan setiap perusahaan dikelola secara baik
dan bertanggung jawab dengan mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing,
meliputi pemegang saham, direksi, dewan komisaris serta pihak-pihak lain.
Aktivitas
ekonomi yang dijalankan perusahaan sebagaimana prinsip etika bisnis diharapkan
bermanfaat tidak hanya bagi perusahaan itu sendiri, tetapi juga bagi
masyarakat. Penerapan etika bisnis tersebut merupakan wujud kepedulian dan
tanggung jawab sosial-moral suatu institusi bisnis dan para pelaku dunia usaha
terhadap masyarakat dan lingkungannya.
Menerapkan Penerapan tanggung jawab perusahaan
terhadap lingkungan (Corporate Social Responsibility CSR) secara benar berarti
juga memenuhi prinsip responsibilitas yang diusung GCG. Penerapan CSR secara
konsisten merupakan bagian dari upaya memaksimalkan nilai perusahaan. CSR
merupakan komitmen perusahaan berperilaku etis dan berkontribusi terhadap
pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan tetap mengedepankan peningkatan kualitas
hidup karyawan beserta keluarganya, komunitas lokal dan masyarakat luas.
Jadi, salah satu implementasi GCG di perusahaan adalah
penerapan corporate social responsibility (CSR).
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana GCG dan CSR dalam perspektif Hukum Ekonomi Islam?
2.
Bagaimana contoh kasus nya?
C.
Tujuan penulisan
1.
Untuk mengetahui gcg dan csr dalam perspektif hukum konomi
islam
2.
Untuk mengetahui contoh kasus gcg dan csr
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DEFENISI GCG DAN CSR
Good Corporate
Governance adalah suatu sistem pengelolaan perusahaan yang dapat mendorong
kinerja perusahaan untuk mencapai tujuan perusahaan tanpa mengenyampingkan
kepentingan stakeholder dan berdasarkan kaidah-kaidah atau peraturan
yang berlaku.
Good
Corporate Governance (World Bank) (Tangkilisan, 2003) adalah kumpulan
hukum, peraturan dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi yang dapat mendorong
kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara efisien, menghasilkan nilai
ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun
masyarakat sekitar secara keseluruhan.
Zarkashi
(2008). GCG merupakan struktur yang oleh stakeholder,pemegang saham,
komisaris dan manajer untuk menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk
mencapai tujuan perusahaan, serta sara untuk mencapai tujuan tersebut dan
mengawasi kinerja[1].
Corporate Social Responsibility
(CSR) adalah tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat di luar tanggung
jawab ekonomisnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi tujuan
sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi ekonomisnya.
Menurut
Kotler dan Nancy (2005) mengemukakan bahwa Corporate Social Responsibility
(CSR) didefinisikan sebagai komitmen perusahaan untuk meningkatkan
kesejahteraan komunitas melalui praktik bisnis yang baik dan mengkontribusikan
sebagian sumber daya perusahaan[2].
B.
Pengaturan GCG dan CSR dalam peraturan peraturan perundang-undangan
di indonesia
Pengaturan
Tata Kelola Perusahaan yang Baik GCG dab CSR pada Persero dalam
UU
No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007
Sebagaimana telah dijelaskan,
Persero merupakan salah satu jenis BUMN dan karenanya Persero tunduk pada UU
No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang diundangkan dan mulai
berlaku pada tanggal 19 Juni 2003. Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum
UU No. 19 Tahun 2003, Bab VI, Paragraf II, Pembentukan UU No. 19 Tahun 2003
tersebut antara lain dimaksudkan untuk memenuhi visi pengembangan BUMN di masa
yang akan datang dan meletakkan dasar-dasar atau prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate governance). Lebih lanjut Bab VI, Paragraf
III juga menyebutkan bahwa UU No. 19 Tahun 2003 juga dirancang untuk
menciptakan sistem pengelolaan dan pengawasan berlandasakan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas guna meningkatkan kinerja dan nilai (value) BUMN,
serta menghindarkan BUMN dari tindakan-tindakan pengeksploitasian di luar asas
tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Dengan demikian, dari Penjelasan Umum
tersebut nampak bahwa UU No. 19 Tahun 2003 memberikan aturan yang dapat
digunakan sebagai pedoman untuk mengelola Persero secara baik berdasarkan pada
prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, dan kewajaran. Mengingat Persero berbentuk perseroan
terbatas maka selain tunduk pada UU No. 19 Tahun 2003, Persero juga tunduk pada
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal
11 UU No. 19 Tahun 2003 yang menyebutkan “Terhadap Persero berlaku segala
ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas”. Pada
tanggal 16 Agustus 2007, UU No. 1 Tahun 1995 diganti atau disempurnakan dengan
UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan Umum Paragraf II UU No. 40 Tahun 2007, salah satu alasan
penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1995 tersebut adalah meningkatnya tuntutan
masyarakat akan pengembangan dunia usaha yang sesuai dengan prinsip pengelolaan
perusahaan yang baik (good corporate governance).
Dengan
demikian sama dengan UU No. 19 Tahun 2003, UU No. 40 Tahun 2007 juga telah
mengakomodir tata cara pengelolaan perusahaan (termasuk Persero) secara
baik.
Pengaturan GCG baik yang ada dalam
UU No. 19 Tahun 2003 maupun UU No. 40 Tahun 2007 tidak hanya mencakup
keseimbangan internal yang mengatur hubungan antara organ-organ Persero dalam
suatu struktur perusahaan, melainkan juga keseimbangan eksternal yang
menekankan perusahaan untuk memperhatikan hubungannya dengan seluruh stakeholders
sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan. Selain itu sebagai
pelaksanaan dari prinsip pertanggungjawaban, UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40
Tahun 2007 juga mengamanatkan perusahaan untuk mentaati semua peraturan
perundang-undangan.17 Sebagaimana dikemukakan Haryadi Sukamdani, tingkat
ketaatan perusahaan pada peraturan perundang-undangan merupakan salah satu
indikator selain laba perusahaan untuk mengukur seberapa jauh suatu perusahaan
telah menerapkan GCG. Terkait dengan keseimbangan internal, UU No. 19 Tahun
2003 juncto UU No. 40 Tahun 2007 antara lain mengatur mengenai:
1)
struktur organ BUMN yang berbentuk Persero beserta tugas, wewenang, dan
tanggung jawab dari masing-masing organ;
2)
hubungan antar organ Persero sehingga terciptalah check and balance yang baik
dalam pengelolaan, pengurusan, dan pengawasan Persero; dan
3)
hubungan antara Persero dengan pemegang saham. Berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003
juncto UU No. 40 Tahun 2007, struktur Persero terdiri dari RUPS, Direksi, dan Komisaris.
Direksi
bertanggung jawab penuh atas pengurusan Persero untuk kepentingan dan tujuan
Perseroserta mewakili Persero baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Sedangkan Komisaris bertanggung jawab penuh atas pengawasan Persero untuk
kepentingan dan tujuan Persero, serta memberikan nasihat kepada Direksi. Dalam
melaksanakan tugasnya, baik Direksi dan Komisaris harus mematuhi Anggaran Dasar
Persero, peraturan perundang-undangan, dan wajib melaksanakan prinsip-prinsip
profesionalisme, efisiensi, transparansi,
kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, serta kewajaran
(prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik). Selain kewajiban, UU juga
mengatur larangan bagi Direksi, dan Komisaris untuk mengambil keuntungan
pribadi baik secara langsung maupun tidak langsung dari kegiatan Persero.
Mereka juga dilarang dan tidak berwenang mewakili Persero apabila terjadi
perkara di depan pengadilan antara Persero dengan dirinya atau mempunyai
kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan Persero. Larangan lainnya
adalah tidak boleh merangkap jabatan yang dapat menimbulkan benturan
kepentingan dan jabatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Khusus untuk Direksi juga dilarang untuk merangkap jabatan
struktural dan fungsional lainnya pada instansi/ lembaga pemerintah pusat dan
daerah. Direksi dan Komisaris, dan bahkan karyawan BUMN dilarang untuk
memberikan atau menawarkan atau menerima baik langsung maupun tidak langsung
sesuatu yang berharga kepada atau dari pelanggan atau seorang pejabat
pemerintah untuk mempengaruhi atau sebagai imbalan atas apa yang telah
dilakukannya dan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Organ lainnya yaitu RUPS juga diatur di dalam UU No. 19
Tahun 2003. Di dalam Persero, Menter i19 bertindak selaku RUPS dalam hal
seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham
pada persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki
oleh negara. Menteri dapat memberikan kekuasaannya tersebut dengan hak
substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.
Namun pihak yang menerima kuasa harus mendapat persetujuan dari Menteri untuk
mengambil keputusan dalam RUPS mengenai perubahan jumlah modal; perubahan
anggaran dasar, rencana penggunaan laba; penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero, investasi dan pembiayaan
jangka panjang; kerjasama Persero; pembentukan anak perusahaan atau penyertaan;
dan
pengalihan aktiva. Selaku RUPS atau pemegang saham mayoritas, Menteri memiliki
kewenangan yang cukup besar untuk mengangkat dan memberhentikan Direksi dan
Komisaris. Namun demikian pengangkatan dan pemberhentian tersebut tidak dapat
dilakukan sesuka hati, melainkan harus sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan dalam UU No. 19 Tahun 2003 dan UU No. 40 Tahun 2007. Secara umum,
untuk dapat diangkat sebagai Direksi dan Komisaris, seseorang harus mampu
melakukan perbuatan hukum dan tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi
anggota Direksi atau Komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan Persero
dinyatakan pailit atau orang yang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
pidana yang merugikan keuangan negara. Selain syarat tersebut, pengangkatan
seseorang menjadi Direksi, Komisaris, atau Dewan Pengawas juga harus
berdasarkan pada pertimbangan keahlian, integritas, kepemimpinan, pengalaman,
jujur, perilaku yang baik, serta dedikasi yang tinggi untuk memajukan dan
mengembangkan BUMN. Khusus untuk pengangkatan anggota Direksi dilakukan melalui
uji kelayakan dan kepatutan. Sedangkan untuk pemberhentian Direksi dan
Komisaris dapat dilakukan sewaktu-waktu, namun dengan menyebutkan alasannya.
Sebagai alat kontrol terhadap Persero, UU No. 19 Tahun 2003 mengatur satuan
pengawasan intern, Komite Audit, dan Komite lain. Satuan pengawas intern
merupakan aparat pengawas intern perusahaan yang dipimpin oleh seorang kepala
dan bertanggung jawab kepada Direktur Utama. Atas permintaan tertulis
Komisaris, Direksi memberikan keterangan hasil pemeriksaan atau hasil pelaksanaan
tugas satuan pengawasan intern. Direksi juga wajib memperhatikan dan segera
mengambil langkah-langkah yang diperlukan atas segala sesuatu yang dikemukakan
dalam setiap laporan hasil pemeriksaan yang dibuat oleh satuan pengawasan
intern. Sedangkan Komite Audit wajib dibentuk oleh Komisaris untuk membantu
mereka dalam melaksanakan tugasnya. Komite Audit tersebut dipimpin oleh seorang
ketua yang bertanggung jawab kepada
Komisaris. Selain Komite Audit, Komisaris juga dapat membentuk komite lain yang
ditetapkan oleh Menteri.Untuk menjadikan Persero bersih, bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme, UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur mengenai pemeriksaan
eksternal. Dalam hal ini pemeriksaan laporan keuangan perusahaan dilakukan oleh
auditor eksternal yang ditetapkan oleh RUPS. Selain auditor eksternal, Badan
Pemeriksa Keuangan juga berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Persero sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 71 UU No. 19 tahun 2003).
UU No. 19 Tahun 2003 juga mengatur bahwa selain organ Persero, pihak lain mana
pun dilarang campur tangan dalam pengurusan Persero. Ketentuan ini cukup
penting agar Direksi dapat mengelola Persero secara independent, terlepas dari
campur tangan pihak mana pun. Hal lain yang diatur dalam keseimbangan internal
adalah hubungan antara Persero dengan pemegang saham. Terkait dengan hal ini,
Pasal 3 UU No. 40 Tahun 2007 mengatur bahwa pemegang saham tidak bertanggung
jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan (Persero)
dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang
dimiliki. Namun demikian ketentuan tersebut tidak berlaku apabila: a)
persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b)
pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan
itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c) pemegang
saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh Perseroan; d) pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak
langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang
mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang
Perseroan. Aturan lainnya yang mengatur hubungan Persero dengan pemegang saham
adalah Pasal 52 UU No. 40 Tahun 2007 yang memberikan hak kepada pemegang saham
untuk menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS; menerima pembayaran dividen
dan sisa kekayaan hasil likuidasi; dan menjalankan hak lainnya berdasarkan UU
No. 40 Tahun 2007. Aturan lainnya yang penting dan merupakan bentuk
perlindungan hukum terhadap pemegang saham, khususnya pemegang saham minoritas
adalah Pasal 61 dan Pasal 62 UU No. 40 Tahun 2007. Pasal 61 ayat (1) UU No. 40
Tahun 2007 memberikan hak kepada pemegang saham untuk mengajukan gugatan
terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan
Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajar sebagai akibat
keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris. Sedangkan Pasal 62 ayat (1)
UU No. 40 Tahun 2007 memberikan hak kepada pemegang saham untuk meminta kepada
Perseroan agar sahamnya dibeli dengan harga yang wajar apabila yang
bersangkutann tidak menyetujui tindakan Perseroan yang merugikan pemegang saham
atau Perseroan berupa: a) perubahan anggaran dasar; b) pengalihan atau penjaminan
kekayaan Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% kekayaan bersih
Perseroan; atau c) penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan.
Sedangkan
terkait dengan keseimbangan eksternal, UU No. 19 Tahun 2003 juncto UU No. 40
Tahun 2007 mengatur hubungan eksternal antara Persero dengan stakeholders di
luar perusahaan (secondary stakeholders) seperti pengusaha kecil; menengah; dan
koperasi; dan juga masyarakat. Hubungan ini penting yaitu selain dapat
meminimalisasi atau bahkan mengantisipasi benturan kepentingan antara Persero
dengan secondary stakeholders, Persero juga diharapkan dapat memberikan manfaat
bagi secondary stakeholders khususnya bagi masyarakat yang ada di sekitar
Persero. Sebagai contoh hubungan eksternal tersebut adalah pelaksanaan tanggung
jawab sosial perusahaan/ Persero (Corporate Social Responsibility/CSR). Secara
teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai tanggung jawab moral suatu perusahaan
terhadap para strategic-stakeholdersnya, terutama komunitas atau masyarakat
disekitar wilayah kerja dan operasinya. Dalam UU No. 19 Tahun 2003 diatur bahwa
dalam rangka melaksanakan CSR, Persero dapat menyisihkan sebagian laba
bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan
masyarakat sekitar BUMN Pasal 88 ayat (1). Ketentuan ini merupakan upaya untuk
mencapai salah satu tujuan BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UU
No. 19 Tahun 2003, yaitu turut aktif memberikan bimbingan dan bantuan kepada
pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat. Selain itu Persero
dalam batas kepatutan juga dapat memberikan donasi untuk amal atau tujuan
sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 90 UU No. 19
Tahun 2003)[3].
C.
GCG dan CSR dalam perspektif hukum islam
Islam
mempunyai konsep yang jauh lebih lengkap dan lebih komprehensif serta akhlaqul
karimah dan ketaqwaan pada Allah SWT yang menjadi tembok kokoh untuk tidak
terperosok pada praktek ilegal dan tidak jujur dalam menerima amanah. Tata
kelola perusahaan yang baik, yang dalam terminologi modern disebut
sebagai Good Corporate Governance berkaitan dengan hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a yang artinya“Sesungguhnya Allah
menyukai apabila seseorang melalukan sesuatu pekerjaan dilakukan dengan baik”.
a)
GCG dalam perspektif Hukum Ekonomi Islam
Muqorobin
menyatakan bahwa Good Corporate Governance dalam Islam harus
mengacu pada prinsip-prinsip berikut ini[4]
a)
Tauhid
Tauhid
merupakan fondasi utama seluruh ajran Islam. Tauhid menjadi dasar seluruh
konsep dan seluruh aktifitas Umat Islam, baik dibidang ekonomi, politik, sosial
maupun budaya.[5]Dalam Alquran disebutkan bahwa tauhid merupakan filsafat fundamental dari
Ekonomi Islam, sebagaimana firman Allah dalam surat Az Zumar ayat 38 :
Yang
artinya : Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: "Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?", niscaya mereka menjawab: "Allah".
Katakanlah: "Maka Terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu seru selain
Allah, jika Allah hendak mendatangkan kemudharatan kepadaKu, Apakah berhala-berhalamu
itu dapat menghilangkan kemudharatan itu, atau jika Allah hendak memberi rahmat
kepadaKu, Apakah mereka dapat menahan rahmatNya?. Katakanlah: "Cukuplah
Allah bagiku". kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri.
Hakikat
tauhid juga berarti penyerahan diri yang bulat kepada kehendak Ilahi. Baik
menyangkut ibadah maupun Muamalah. Sehingga semua aktivitas ysng dilakukan
adalah dalam rangka menciptakan pola kehidupan yang sesuai kehendak Allah.
Apabila
seseorang ingin melakukan bisnis, terlebih dahulu ia harus mengetahui dengan
baik hukum agama yang mengatur perdagangan agar ia tidak melakukan aktivitas
yang haram dan merugikan masyarakat. Dalam bermuamalah yang harus diperhatikan
adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang
tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan.[6]
2. Taqwa
dan ridha
Prinsip
atau azas taqwa dan ridha menjadi prinsip utama tegaknya sebuah institusi Islam
dalam bentuk apapun azas taqwa kepada Allah dan ridha-Nya. Tata kelola bisnis
dalam Islam juga harus ditegakkan di atas fondasi taqwa kepada Allah dan
ridha-Nya dalam QS at-Taubah: 109 Yang artinya :
Maka
Apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah
dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan
bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama
dengan Dia ke dalam neraka Jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada
orang- orang yang zalim.
Dalam
melakukan suuatu bisnis hendaklah atas dasar suka sama suka atau sukarela.
Tidaklah dibenarkan bahwa suatu perbuatan muamalah, misalnya perdagangan,
dilakukan dengan pemaksaan ataupun penipuan. Jika hal ini terjadi, dapat
membatalkan perbuatan tersebut. Prinsip ridha ini menunjukkan keikhlasan dan
iktikad baik dari para pihak
3. Ekuilibrium
(keseimbangan dan keadilan)
Tawazun atau mizan (keseimbangan)
dan al-‘adalah (keadilan) adalah dua buah konsep tentang ekuilibrium
dalam Islam. Tawazun lebih banyak digunakan dalam menjelaskan
fenomena fisik, sekalipun memiliki implikasi sosial, yang kemudian sering
menjadi wilayah al-‘adalah atau keadilan sebagai manifestasi Tauhid
khusunya dalam konteks sosial kemasyarakatan, termasuk keadilan ekonomi dan
bisnis. Allah SWT berfirman dalam QS ar-Rahman ayat 7-9 yang artinya :
Dan
Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan). Supaya
kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan Tegakkanlah timbangan itu
dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
Dalam
konteks keadilan ( sosial ) , para pihak yang melakukan perikatan dituntut
untuk berlaku benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi
perjanjian yang telah mereka buat, dan memenuhi segala kewajibannya.
4. Kemashlahatan
Secara
umum , mashlahat diartikan sebagai kebaikan ( kesejahteraan ) dunia dan
akhirat. Para ahli ushul fiqh mendefenisikannya sebagai segala sesuatu yang
mengandung manfaat, kebaikan dan menghindarkan diri dari mudharat, kerusakan
dan mufsadah. Imam al Ghazali menyimpulkan bahwa mashlahat adalah upaya untuk
mewujudkan dan memelihara lima kebutuhan dasar, yakni[7] :
a) pemeliharaan
agama
b) pemeliharaan
jiwa
c) pemeliharaan
akal
d) pemeliharaan
keturunan,
e) pemeliharaan
harta benda.
b)
CSR dalam perspektif hukum ekonomi islam
Menurut Islam, CSR yang dilakukan
harus bertujuan untuk menciptakan kebajikan yang dilakukan bukan melalui
aktivitas-aktivitas yang mengandung unsur riba, melainkan dengan praktik yang
diperintahkan Allah berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf. CSR juga harus
mengedepankan nilai kedermawanan dan ketulusan hati (Suharto,2010). Perbuatan
ini lebih Allah cintai dari ibadah-ibadah mahdhah. Rasulullah SAW
bersabda, “Memenuhi keperluan seorang mukmin lebih Allah cintai dari
pada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan ratusan
ribu dirham dan dinar”. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga
bersabda, “Jika seorang muslim berjalan memenuhi keperluan sesama
muslim, itu lebih baik baginya daripada melakukan tujuh puluh kali thawaf di
Baitullah.”
Selain itu, pelaksanaan CSR dalam
Islam juga merupakan salah satu upaya mereduksi permasalahan-permasalahan
sosial yang terjadi di masyarakat dengan mendorong produktivitas masyarakat dan
menjaga keseimbangan distribusi kekayaan di masyarakat. Islam mewajibkan
sirkulasi kekayaan terjadi pada semua anggota masyarakat dan mencegah
terjadinya sirkulasi kekayaan hanya pada segelintir orang (Yusanto dan Yunus,
2009:165-169). Allah Berfirman : “....supaya harta itu jangan beredar
di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu...” (QS. Al hasyr: 7).
Praktik CSR dalam Islam menekankan
pada etika bisnis islami. Operasional perusahaan harus terbebas dari
berbagai modus praktik korupsi (fight agains corruption) dan
memberi jaminan layanan maksimal sepanjang ranah operasionalnya, termasuk
layanan terpercaya bagi setiap produknya (provision and development of
safe and reliable products). Hal ini yang secara tegas tercantum
dalam Al-Quran. Allah SWT berfirman: “.... Maka sempurnakanlah takaran
dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran
dan timbangannya,....” (QS. al-A’raf ayat 85).
Selain menekankan pada aktivitas
sosial di masyarkat, Islam juga memerintahkan praktik CSR pada lingkungan.
Lingkungan dan pelestarianya merupakan salah satu inti ajaran Islam.
Prinsip-prinsip mendasar yang membentuk filosofi kebajikan lingkungan yang dilakukan
secara holistik oleh Nabi Muhamad SAW adalah keyakinan akan adanya saling
ketergantungan di antara makhluk ciptaan Allah. Karena Allah SWT menciptakan
alam semesta ini secara terukur, baik kuantitatif maupun kualitatif (lihat QS.
Al Qamar: 49) dan dalam kondisi yang seimbang (QS. Al hadid:7). Sifat saling
ketergantungan antara makhluk hidup adalah sebuah fitrah dari Allah SWT. Dari
prinsip ini maka konsekuensinya adalah jika manusia merusak atau mengabaikan
salah satu bagian dari ciptaan Allah SWT, maka alam secara keseluruhan akan
mengalami penderitaan yang pada akhirnya juga akan merugikan manusia
(Sharing,2010). Allah SWT berfirman: “telah nampak kerusakan di darat
dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan
kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar.” (QS. Ar Rum:41)
Dari penjelasan diatas menunjukan
bahwa Islam telah mengatur dengan begitu jelas tentang prinsip-prinsip dasar
yang terkandung dalam CSR, padahal isu CSR baru dimulai pada abad ke-20. Bahkan
dalam berbagai code of conduct yang dibuat oleh beberapa
lembaga, Islam telah memberikan penjelasan terlebih dahulu. Misalnya, dalam
draft ISO 26000, Global Reporting Initiatives
(GRI), UN Global Compact, International Finance
Corporation (IFC), dan lainnya telah menegaskan berbagai
instrumen indikator bagi pelaksanaan komitmen CSR perusahaan demi
pemenuhan target pembangunan berkelanjutan—seperti isu lingkungan hidup,
hak asasi manusia, praktik ketenagakerjaan, perlindungan konsumen, tata kelola
perusahaan, praktik operasional yang adil, dan pengembangan masyarakat.
Dan bila ditilik lebih lanjut, sebenarnya prinsip-prinsip tersebut merupakan
representasi berbagai komitmen yang dapat bersinergi dengan pengamalan prinsip
kehidupan Islami (Sampurna,2007)[8]
D.
CONTOH KASUS GCG DAN CSR
a)
Kasus
Good Corporate Governance di Indonesia
Bank
Indonesia (BI) memberikan sanksi kepada empat bank. Keempat bank tersebut
adalah PT Bank Mega Tbk, PT Bank Panin Tbk, PT Bank Jabar Banten Tbk dan PT
Bank Mestika Dharma. Menurut Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah, sanksi berupa
pembatasan diberikan lantaran keempat bank tersebut tak menerapkan Good
Corporate Governance (GCG).
“Kita
lebih melihat permasalahan ini pelemahan dalam konteks produk GCG-nya, Good
Corporate Governance-nya,” tutur Halim seusai rapat dengan Komisi
XI DPR, Senin (24/6).
Pemberian sanksi berupa pembatasan tersebut
diterapkan berbeda antara satu bank dengan bank lainnya. Bahkan, lanjut Halim,
dari keempat bank tersebut terdapat bank yang masih dilarang melakukan ekspansi
perbankan oleh BI. “Ada yang seperti itu (sanksinya tahunan, red), ada yang
sampai sekarang kita masih belum membolehkan dia untuk ekspansi, saya tidak
bisa menyampaikan bank perbank,” ujarnya.
Menurut Halim, semua permasalahan yang terjadi
di empat bank tersebut sudah disampaikan BI kepada Komisi XI. Meski terjadi
persoalan, kondisi keempat bank tersebut masih relatif stabil. “Beberapa
masalah yang dilaporkan ke Komisi XI itu relatif sudah ditangani dan sampai
saat ini tentu saja sudah tidak ada hal-hal yang mengganggu dari bank tersebut,
jadi bank tersebut tetap baik,” katanya.
Menurutnya, permasalahan yang terjadi di empat
bank tersebut masuk kategori sebagai risiko operasional. Bahkan dari keempat
bank tersebut terdapat permasalahan yang bergulir ke ranah hukum. Sayangnya,
Halim enggan mengungkapkan persoalan apa saja yang terjadi di empat bank
tersebut.
Ia berjanji bahwa seluruh persoalan yang
terjadi akan ditindaklanjuti oleh BI. Menurut Halim, selaku regulator, BI
berkepentingan untuk menindaklanjuti walaupun harus melakukan fit and proper
(menguji) pejabat bank mengenai kasus yang terjadi. Bukan hanya itu, BI juga
bisa membatasi ekspansi bank serta melakukan pergantian pengurus hingga
memperbaikia Standar Operasional Prosedur (SOP) di bank tersebut.
Meski terdapat persoalan, lanjut Halim, kinerja
keempat bank tersebut masih tergolong bagus. Hal ini pula yang disampaikan BI
kepada Komisi XI di dalam rapat yang digelar tertutup. “Tidak ada masalah
likuiditas, tidak ada masalah dengan NPL-nya, tidak ada masalah dengan
permodalan dan dengan stabilitas bank itu sendiri,” tambahnya.
Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis
berharap, fungsi mediasi dan pengawasan BI dapat terus dilakukan terkait dengan
persoalan yang terjadi di empat bank tersebut. Menurutnya, dari laporan BI tak
satu pun bank yang masuk ke dalah tahap pengawasan intensif oleh bank sentral
itu.
“Kita minta BI melakukan mediasi lebih
intensif, proaktif dan tegakkan governancy. kasus-kasus ini belum selesai. Tapi
poinnya tidak ada bank dalam pengawasan intensif,” ujar politisi Partai Golkar
ini.
Dari laporan BI, lanjut Harry, persoalan di
Bank Mega terkait dengan hilangnya sejumlah deposito milik Elnusa dan
Pemerintah Kabupaten Batubara. Total dana yang hilang Rp191 miliar, dengan
rincian dana Elnusa Rp111 miliar dan Pemkab Batubara Rp80 miliar. Untuk
persoalan yang dialami Elnusa sudah bergulir ke ranah hukum, dan kini dalam
tahap kasasi di Mahkamah Agung.
Untuk persoalan di BJB terdapat tiga kasus.
Pertama mengenai dana Koperasi Bina Usaha sebesar Rp38 miliar yang dinilai BI
terjadi lantaran tak diterapkannya GCG. Persoalan ini sudah ditangani oleh
Kejaksaan Agung. Kasus kedua terkait dengan pembangunan Tower BJB di wilayah Jakarta
sebesar Rp540 miliar. Untuk kasus ini diklaim sudah ditangani oleh KPK.
Sedangkan kasus ketiga terkait dengan kredit di Surabaya. Kasus ini sudah
ditangani oleh Kejaksaan Agung.
Terkait Bank Panisi, lanjut Harry, terdapat dua
kasus. Pertama mengenai take over ANZ yang sudah berjanji menjadi pemegang
saham pengendali tapi sampai sekarang belum ada hasilnya. Hingga kini ANZ
memiliki saham sudah lebih dari 25 persen, tapi ANZ berubah pikiran akan
mendivestasikannya.
Kasus kedua, mengenai pegawai Bank Panin yang
terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Terkait hal ini, BI telah meminta Bank
Panin untuk menyelesaikan secara internal.
Sedangkan kasus yang terjadi di Bank Mestika
Dharma mengenai agunan seorang nasabah yang bernama Krisyanto sebesar Rp1,2
miliar. Hingga kini, kasus tersebut masih diawasi BI. Di luar empat bank, BI
juga menuturkan sejumlah kasus-kasus lain yang terjadi di beberapa bank.
Menurut Harry, terdapat dua bank yang dilaporkan BI kepada Komisi XI.
Pertama, Bank Danamon cabang Depok bahwa terdapat
nasabah yang awalnya memiliki uang Rp43 miliar, tapi belakangan diketahui
dananya tinggal Rp6000. Nasabah tersebut merasa dirugikan lantaran tak pernah
mengambil uang, tapi kenyataannya tabungannya telah berkurang. Sedangkan kasus
lainnya terjadi di Bank Permata. Di bank ini terdapat pegawai yang diturunkan
jabatannya lantaran produktifitas kinerjanya menurun karena menjadi calon
legislatif.[9]
b) Contoh
kasus CSR
Jakarta,
10 Juni 2008 (ANTARA) – Menyusul kesuksesan Jakarta Green & Clean (JGC),
PT. Unilever Indonesia, Tbk melalui merek camilan andalannya, Taro, meluncurkan
program Corporate Social Responsibility (CSR) baru bertajuk Markas
Petualangan Taro (MPT). Program kepedulian pada anak-anak ini mulai dijalankan
oleh masyarakat pada April 2008 lalu. Unilever yang berkiprah di Indonesia
sejak 1933 ini menciptakan MPT dengan tujuan untuk membentuk karakter anak yang
mandiri, peduli dan kreatif melalui aktivitas petualangan dengan memanfaatkan
lahan di sekitar tempat tinggal.
“Kampanye
Markas Petualangan Taro kami yakini akan memberikan manfaat bagi masa depan
anak-anak kita, karena masa depan bangsa ini terletak di tangan mereka,” tutur
Adeline Ausy Setiawan selaku Marketing Manager Modern Snacks & Beverages
PT. Unilever Indonesia, Tbk. “Kami menyadari, untuk mewujudkan misi sosial ini
kami tidak dapat melakukannya sendiri, maka kami menggandeng JGC yang telah
sukses dengan program pemberdayaan masyarakat untuk lebih peduli mencintai
lingkungan. Dan untuk mengimplementasikannya kami bermitra dengan Masyarakat,
PKK, psikolog dari Propotenzia dan Aksi Cepat Tanggap (ACT) untuk saling
bahu-membahu demi mewujudkan karakter anak yang unggul,” jelas Ausy.
Ausy
menambahkan, “Pada tahap awal MPT berlangsung di 25 RW (Rukun Warga) yang
tersebar di DKI Jakarta, dengan masing-masing wilayah Kotamadya dipilih lima
titik. Ke-25 titik ini merupakan proyek awal.
Psikolog
anak Lina E. Muksin, M.Psi berpendapat, “Setiap anak memiliki jiwa petualang,
anak usia Sekolah Dasar mulai mengenal lingkungan di luar rumah sebagai
aktifitas petualanganya. Sayangnya di kota-kota besar pada umumnya kurang ramah
terhadap anak, di mana amat minim lahan bermain. Tak heran banyak anak bermain
di ruang terbuka yang bukan difungsikan sebagai lahan bermain yaitu jalanan.
Jika kondisi ini tidak diakomodir dengan baik akan menjerumuskan anak untuk
menyerap secara langsung yang ada di lingkungannya.”
General
Manager Yayasan Unilever Peduli, Sinta Kaniawati, memaparkan bahwa MPT
merupakan anak program JGC – MPT terlahir dari program JGC yang secara holistik
mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk peduli terhadap lingkungannya, tetapi
juga mengajak masyarakat untuk peduli tehadap perkembangan anak di
lingkungannya. Berdasarkan pengamatan tim JGC, pihaknya melihat area JGC masih
kekurangan sarana untuk bermain anak, padahal lingkungan tersebut sebenarnya
bisa memanfaatkan lahan yang tersedia sebagai sarana anak untuk berpetualang.
Oleh karena itu pihaknya menggandeng Taro untuk menggarap program sosial
kemasyarakatan yang dapat mengeliminir masalah kurangnya lahan bermain buat
anak-anak.”
Program
MPT dikemas dengan misi agar semua anak tetap bisa tumbuh sesuai dengan
kebutuhan usianya sehingga mereka berkembang dengan masa kanak-kanak yang lebih
menyenangkan dan bermakna. Menurut Brand Manager Taro Amalia Sarah Santi, “MPT
mengajak masyarakat luas untuk berperan serta menjadi sahabat bermain dan
pelindung, di mana mereka bisa mendapatkan dukungan dan membangun harapan
bersama.”
Berdasarkan
riset yang dilakukan di area MPT oleh Propotenzia hubungan antara orang tua dan
anak kurang berjalan maksimal, ini dikarenakan 83% orang tua cenderung
mengalami stres. Oleh karena itu peran orang kurang efektif dalam mengasuh
anak. Sehingga anak cenderung kurang optimal dalam perkembangan psikososialnya
yaitu penggambaran citra diri yang negatif, kurang dapat mengendalikan emosi,
kurang harmonis dengan orang tua, tidak dapat bersosialisasi.
Sarah
melanjutkan, “MPT juga ditujukan untuk lebih mempererat hubungan antara anak
dan ibunya melalui aktifitas petualangan yang digelar secara berkala di
lingkungan masing-masing. Melalui program MPT, anak dapat kembali bebas
bermain, termasuk mengenal lingkungannya di tengah kurangnya lahan bermain.
Sebagai contoh lapangan badminton yang biasanya dipakai orang dewasa setiap Sabtu
atau Minggu dapat digunakan menjadi ajang bermain anak-anak peserta program
MPT. Melalui aktivitas petualangan yang dilakukan secara rutin selama 2 jam per
minggu, anak-anak mendapat kesempatan untuk melatih dan mengembangkan
kompetensi, berinteraksi dengan teman sebaya, terlibat dalam kerjasama tim,
kreatif memecahkan masalah, menumbuhkan kepedulian dan mengembangkan inisiatif,
mengontrol emosi serta mengevaluasi diri. Program ini juga sebagai sarana
memberdayakan para Ibu untuk turut serta mendidik anak, serta mampu membuat
anak memiliki haknya kembali untuk bermain.”
Beberapa
contoh permainan dalam MPT adalah “Peta RT-ku”, “Ranjau Darat”, “Sekolah Batu”,
“Para Semut Petualang”, “Sahabat Taro Peduli” dan “Keluargaku Teman
Petualanganku”.
“Program
Markas Petualangan Taro mengharapkan masyarakat untuk berperan secara aktif
dalam menanamkan kepedulian akan pentingnya membentuk karakter anak melalui
aktifitas petualangan di lahan sekitar. MPT yang dikembangkan dan dimiliki
masyarakat diharapkan akan bermanfaat[10].
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Good
Corporate Governance (GCG) merupakan sistem tata kelola perusahaan yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah untuk
semua stakeholder. Dengan adanya penerapan GCG dalam perusahaan dapat
mendorong suatu perusahaan untuk dapat mencapai tujuan perusahaan yang optimal.
Jika setiap perusahaan yang ada di Indonesia menerapkan GCG maka kestabilan
ekonomi dapat tercipta, karena penerapan GCG dapat meningkatkan kinerja
perusahaan dan hasilnya investasi dan laba perusahaan dapat meningkat.
Corporate
Social Responsibility (CSR) adalah tanggung jawab perusahaan terhadap
masyarakat di luar tanggung jawab ekonomisnya, kegiatan-kegiatan yang dilakukan
perusahaan demi tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi
ekonomisnya.
Pengaturan
GCG baik yang ada dalam UU No. 19 Tahun 2003 maupun UU No. 40 Tahun 2007 tidak
hanya mencakup keseimbangan internal yang mengatur hubungan antara organ-organ
Persero dalam suatu struktur perusahaan, melainkan juga keseimbangan eksternal
yang menekankan perusahaan untuk memperhatikan hubungannya dengan seluruh
stakeholders sebagai perwujudan dari pemenuhan tanggung jawab perusahaan.
Islam mempunyai konsep yang jauh lebih lengkap dan lebih komprehensif
serta akhlaqul karimah dan ketaqwaan pada Allah SWT yang menjadi tembok kokoh
untuk tidak terperosok pada praktek ilegal dan tidak jujur dalam menerima
amanah. Tata kelola perusahaan yang baik, yang dalam terminologi modern disebut
sebagai Good Corporate Governance berkaitan dengan hadits Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a yang artinya“Sesungguhnya Allah
menyukai apabila seseorang melalukan sesuatu pekerjaan dilakukan dengan baik”.
B.
saran
Daftar pustaka
Daniri, Mas Ahmad. 2005. Good Corporate Governance Konsep
dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta
Pusat : Ray Indonesia.
Desjardins, Hartman. 2012. Etika Bisnis ; Pengambil Keputusan untuk
Integritas Pribadi dan Tanggung Jawab Sosial. Erlangga : Jakarta.
Mardani., Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. (Jakarta:
Kencana. 2012)
https://gustani.blogspot.co.id/2012/11/corporate-social-responsibility-csr.html
Daniri, Mas Ahmad. 2005. Good Corporate
Governance Konsep dan Penerapannya di Indonesia. Jakarta Pusat : Ray Indonesia.
Desjardins, Hartman. 2012. Etika Bisnis ; Pengambil Keputusan
untuk Integritas Pribadi dan Tanggung Jawab Sosial. Erlangga : Jakarta.
Muqorobin Masyudi. , Fikih Tata Kelola Organisasi Laba:
Sebuah Pengantar(Universitas
Muhammadiyah:Purwekerto) h 4
Mardani., Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh
Muamalah. (Jakarta: Kencana. 2012)